Minggu, 05 Oktober 2008

Perundingan Damai Thailand Selatan, Kalla Sangat Terpukul Komentar Jubir Presiden SBY

Media Indonesia
Jum'at, 26 September 2008 15:33 WIB

Reporter : Mahfud

Perundingan damai konflik Thailand Selatan dirintis akhir pekan lalu yang dimediasi Jusuf Kalla. Namun Kalla mengaku sangat terpukul dengan komentar jurubicara Kepresidenan Dino Patty Djalal yang berbuntut ketersinggungan Pemerintah Thailand sehingga mengancam proses perundingan.

Dino, hari Minggu (21/9) lalu memberikan pernyataan ke media massa soal perundingan konflik Thailand Selatan. Dalam komentarnya Dino sempat menyinggung materi pembicaraan bahwa perundingan mencapai sejumlah prinsip yang penting meski ada sejumlah posisi sulit yang masih harus dijembatani.

Perundingan damai konflik Thailan Selatang di mediasi Jusuf Kalla di Istana Bogor Sabtu-Minggu pekan lalu.

“Waduh, begitu keluar statemen itu (Dino Patty Djalal) saya betul-betul terpukul,” kata Kalla gusar saat jumpa pers di kantor Wapres, Jumat (26/9) menanggapi peryataan Dino Patty Djalal.

Komentar Dino tersebut, tutur Kalla berdampak luas di Thailand yang mengancam kelangsungan perundingan damai.

“Terjadi perdebatan yang hangat di Thailand yang tidak perlu, saya menjadi tidak enak. Begitu kita tidak jaga etika, buyar, bukan buyar disini tetapi di negara orang,” tegas Kalla dengan bibir bergetar.

Kalla mengaku talah menegur Dino yang seharusnya menjaga etika dan kepercayaan. Pernyataan Dino adalah inisiatif pribadi dan belum mendapat instruksi dari Wapres.

“Yang kita perlukan trust negara. negara tdk boleh membocorkan apa yg dibicarakan. Itu etika. Karena saya mewakili negara, orang fikir negara yang membocorkan. Padahal tidak ada instruksi dari saya,” geram Kalla.

Kalla menuturkan etika dan pengetahuan menjadi mediator harus betul-betul dipahami. Karena itu Kalla menyatakan tidak memberikan informasi kepada pers. Jikapun ada satu atau dua orang wartawan itu, sekedar untuk merekam dan bisa menulis dengan tuntas setelah perundingan berhasil. Tujuannya semata-mata untuk pelajaran ke depan.

“Itu permasalahan etika dan pengetuhan tentang perdamaian harus dipahami. Karena itu dimana-mana saya tutup dari Anda,” terangnya.

Kalla dalam kesempatan itu berkali-kali menekankan persoalan etika yang harus dijaga mediator. “Ribut itu di Thailand, bisa gagal itu perundingan hanya gara-gara karena kita tidak tahu etika,” sesal Kalla.

Kalla menambahkan untuk mempertemukan dua pihak yang bertikai, mediator haruslah benar-benar bisa dipercaya kedua belah pihak. Untuk itu syarat utama mediator yaitu menjaga etika harus benar-benar dijalankan.

Kalla mencontohkan mediator seharusnya tidak memberikan komentar mengenai materi perundingan tanpa seijin pihak yang berunding.

“Saya sudah tanya ke mereka apakah mau bicara dengan pers, jawabannya tidak, tidak. Maka saya tidak kasih komentar. Kalau mediator mengeluarkan isi pembicaraan itu melanggar etika,” papar Kalla.

Mengenai pernyataan pihak Thailan bahwa delegasi yang dikirim bukan dari pemerintah, Kalla menepisnya. Menurut Kalla, tidak banyak pihak yang tahu termasuk Departemen Luar Negeri Thailand yang beberapa waktu lalu memberikan pernyataan tidak ada delegasi pemerintah Thailand yang dikirim.

“Yang memberi mandat itu lebih dari Menlu, siapa bilang tidak resmi. Satu dua orang tidak mengerti karena pertemuan sangat tertutp. Delegasi sangat resmi dengan mandat atasannya Menlu Thailand,” lanjut Kalla.

Kalla juga menyentil Deplu Thailand yang seharusnya tidak berkomentar karena permasalahan adalah konflik dalam negari Thailand. Jika Deplu yang berkomentar maka terkesan menjadi masalah luar negari

“Sama dulu Indonesia (perjanjian Helsinski) Deplu tidak ikutan. Kalau Deplu ikut, itu jadi masalah luar negeri. Padahal konflik adalah masalah dalam negeri,” jelas Kalla. (Fud)

Umumkan Capres di Istana, SBY Dituding Langgar Etika

(http://kompas.com)

Tanggal : 03 Oct 2008

JAKARTA, JUMAT-Keinginan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk kembali maju dalam pertarungan Pilpres 2009, ternyata mendapat kritikan tajam dari para pengamat politik. Yang dipermasalahkan, tak lain keinginan SBY maju dalam Pilpres 2009 dan kemungkinan akan kembali berduet dengan Wapres Jusuf Kalla, tak lain, karena pengumuman dilakukan di Istana Negara.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menganggap, pengumumunan rencana maju sebagai capres di Istana Negara, sama saja sudah melanggar etika politik. Sementara pengamat politik yang juga capres independen Fadjroel Rahman menyatakan, Bawaslu harus memberikan sanksi tegas kepada Presiden SBY.

"Presiden SBY telah melanggar etika. Seharusnya mengumumkan pencalonan dirinya kembali sebagai capres, harus dilakukan di tempat netral, bukan Istana Negara. Presiden SBY, bukanlah seorang raja dan tiran yang bisa mengumumkan kelanjutan tirani kekuasaannya di Istana kerajaan atau di lingkungan pemerintahan yang seharusnya menjadi tempat yang netral," kata Ray Rangkuti secara khusus kepada Persda Network, Jumat (3/10).

Ray mengakui, memang tidak ada perundang-undangan yang mengatur bagi para calon kandidat capres dan cawapres yang diperbolehka dimana harus mengumumkak pencalonannya. Namun, secara etika politik, kata Ray, tentu saja Istana tidak bisa dijadikan tempat untuk ajang kampanye.

"Yang kita kritisi adalah terkait dengan etika pengelolaan negara. Sering kali kita memandang etika bernegara itu dengan sepele. Padahal, itu hal yang sangat fundamental konstitusi dan pengelolaan pemerintahan yang baik dan bersih. Karena ini hanya masalah pelanggaran etika politik saja, maka sanksi yang didapat hanyalah sanksi sosial. Jadi, ada baiknya ini pelajaran bagi para incumbent yang ingin kembali maju baik sebagai calon presiden atau apapun.

Sebelumnya diberitakan, Minggu (28/9) Presiden SBY menyatakan diri kembali maju sebagai calon presiden pada pemilihan presiden 2009. Ia pun memberi isyarat masih akan berpasangan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Jika terpilih, inilah periode kedua dan terakhir SBY menjabat sebagai Presiden.

Pengamat politik yang juga capres independen Fadjroel Rahman menegaskan kembali, memakai fasilitas negara untuk kepentingan pribadi jelas sebuah pelanggaran etika dalam berpolitik. Bila memang hukum ingin ditegakkan, harusnya kepada siapapun yang melanggar mesti mendapatkan tindakan sanksi, terutama oleh pihak Bawaslu.

"Memakai fasilitas negara untuk kepentingan pribadi dan parpol adalah korupsi, tidak hanya sekedar masalah etis saja. Pelanggaran hukum ini mesti diusut oleh Bawaslu agar hukum bisa berlaku kepada siapapun. Tak terkecuali kepada Presiden SBY," tandas Fadjroel Rahman.

Praktik pemakaian fasilitas negara ini memang kerap dilakukan secara berulang-ulang dalam berbagai bentuk. Menurutnya, tak terkecuali kepada Presiden SBY, kepada kepala negara sebelumnya, termasuk mantan penguasa Orde Baru, Soeharto juga kerap melakukan.

"Jadi, demi menegakkan iklim demokrasi yang lebih baik, adanya pelanggaran etika sekarang ini haruslah ditegakkan hukum kepada siapapun yang melanggar.

Sekjen DPP PDI Perjuangan Pramono Anung saat ditemui usai shalat Ied di Kantor DPP PDI Perjuangan, Rabu (1/10) lalu berharap, UU Pilpres yang akan dikelurkan nanti harus bisa mengatur secara detail terkait larangan kepada para kandidat untuk tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.

"Salah satu hal kelemahan yang lalu, memang belum diatur secara lebih jelas. Sebenarnya gampang sekali, ketika melakukan sosialisasi pribadi, tidak boleh simbol-simbol kenegaraan itu ada. Dan pada waktu, walapun belum diatur oleh undang-undang ketika ibu Megawati melakukan sosialisasi pribadi, tidak pernah, contoh sederhana saja, menggunakan kendaraan atau mobil negara yang merupakan simbol kepresidenan, " papar Pramono.

"Nah, harusnya itu juga harus dilakukan sama kepada semua calon-calon presiden yang lain. Kita ingin memberikan catatan, harusnya Istana Negara itu kan pusat pemerintahan atau pusat negara, bukan pusat bagi seseorang untuk mencalonkan diri. Kalau mau mencalonkan diri, silahkan dimana saja, jangan di Istana Negara," tandas Pramono Anung. (Persda Network/Rachmat Hidayat)

Kamis, 02 Oktober 2008

Kampungku



On July 9, 2007, the Indonesian volcano Mount Gamkonora began spewing hot ash and smoke from its crater. Columns of ash and smoke shot up over 3,000 meters, prompting authorities to declare a "state of alert" and evacuate approximately 8,000 residents from the area.
Fast Facts

1. Height: 1,325 meters
2. Located in North Maluku province
3. The highest peak on Halmahera Island
4. Last eruption was in 1987
5. Last major eruption was in 1673

Situation Downgraded

On July 16, 2007, authorities downgraded the state of alert after volcanic activity and seismic tremors had declined. The evacuated residents were allowed to return to their homes, none of which had incurred any damage. No casualties or injuries were reported following the volcanic activity, but some residents complained of breathing problems due to high levels of ash in the air.

Herald Tribune
Gamkonora volcano erupts in eastern Indonesia
The Associated Press
Published: July 9, 2007


JAKARTA, Indonesia: A volcano in eastern Indonesia erupted on Monday, sending thick clouds of smoke up to 1,000 meters (3,280 feet) in the air, the government's volcano monitoring agency said.

The agency raised the alert level at Mount Gamkonora to the second highest level, meaning a major eruption was possible in the coming weeks and villagers on its slopes should ready themselves for evacuation, according to a posting on its Web site.

Seismic activity at the 1,635-meter (5,364-feet) mountain has been increasing over the past nine days, but on Monday tremors increased and it spat out clouds of smoke and ash that soared high in the air, the posting said.

Authorities close to the volcano on remote Halmahera island were not immediately available for comment. Halmahera lies about 2,400 kilometers (1,490 miles) northeast of Jakarta.

Indonesia has more active volcanoes than any other nation because of its location on the Pacific "Ring of Fire" — a series of fault lines stretching from the Western Hemisphere through Japan and Southeast Asia. -030-


BBC
Thousands flee Indonesia volcano

Ash clouds spew from Mount Gamkonora, in North Maluku province, Indonesia - 09/07/07
Mount Gamkonora is one of 129 active volcanoes in Indonesia

Volcanic eruptions
Thousands of Indonesians have been evacuated from the slopes of a volcano that is spewing out hot ash and smoke in the east of the country.

The alert around Mount Gamkonora, in North Maluku province, has been raised to its highest level amid fears a major eruption could be imminent.

Scientists have reported seeing fire and ash clouds rising as high as 4,000m (13,100ft) since Monday.

Some 8,400 villagers have been moved to special camps away from the volcano.

However, scientists are warning that lava could still reach the camps if there is a large eruption - and have advised residents to wear face masks to protect themselves from the ash clouds.

Some 2,000 people are reported to have chosen to remain within the 8km (five mile) danger zone marked out by officials.

'Ring of Fire'

Activity at the 1,635m mountain rose sharply on Monday, prompting scientists to raise the alert level.

Saut Simatupang of Indonesia's Vulcanological Survey told Reuters news agency that the volcano was spitting out volcanic ash as high as 4,000m at its peak on Monday.

Map

He said there had been less smoke and ash on Tuesday "but that does not mean the volcano is safe".

Mt Gamkonora is the highest peak on the island of Halmahera in North Maluku province, some 2,400km east of the Indonesian capital Jakarta.

It is one of at least 120 active volcanoes in Indonesia, which is part of the Asia-Pacific "Ring of Fire", a series of volcanoes and fault lines stretching from the Western Hemisphere through Japan and South East Asia.

Gamkonora Volcano Eruptions

2007, 1987, 1981, 1952, 1951, 1950, 1949, 1926, 1917, 1911, 1885, 1673.

Sabtu, 27 September 2008

Akhir Perseteruan TRUST & ex Karyawannya

No. : 04/AJI Jakarta/VII/ 08

Hal : Statemen atas putusan kasasi MA terhadap PHK karyawan Trust

"Segera Bayar Pesangon Bambang Bujono, Rusdi Mathari, dan Bajo Winarno"

Berani mem-PHK, tetapi tidak sanggup menerima konsekuensinya. Hal inilah yang ditunjukkan manajemen majalah Trust terhadap tiga bekas pekerjannya: Bambang Bujono, Rusdi Mathari, dan Bajo Winarno—yang di-PHK sejak 1 Maret 2005 lalu.

Dalam amar putusan kasasi Mahkamah Agung No. 297 K/PHI/2007 tertanggal 17 Desember 2007, majelis hakim memerintahkan agar PT Hikmat Makna Aksara—selaku penerbit majalah Trust—membayar pesangon kepada ketiganya sebesar Rp 294.847.200. Rinciannya, kepada Bambang Bujono (redaktur senior) Rp 226.500.000, Rusdi Mathari (redaktur) Rp 47.962.200, dan Bajo Winarno (reporter) Rp 20.385.000.

Sejak menjadi kekuatan hukum tetap, mestinya manajemen langsung membayarkan kewajibannya itu secara tunai kepada pekerja. Tapi nyatanya hingga sekarang manajemen Trust belum bersedia melaksanakan putusan MA tersebut. Direksi yang diwakili Ferdinand BM Wewengkang (Direktur Utama) dan Bambang Aji (Direktur Produksi/Pemred Trust), serta L. Pramono (Direktur Usaha) berdalih, perusahaan sedang mengalami kesulitan keuangan. Mereka mau membayar pesangon pekerja, tapi dengan cara dicicil.

Tindakan pengabaian hak pekerja ini tidak semestinya terjadi jika manajemen telah menghitung konsekuensi tindakannya saat mem-PHK pekerja. Apalagi perjalanan kasus ini hingga akhirnya MA mengetuk palu putusan telah memakan waktu hampir empat tahun.

Kembali mengingatkan, kasus PHK di majalah Trust terjadi dalam dua gelombang. Pada keputusan PHK pertama yang dikeluarkan 23 Desember 2004, manajemen memecat tujuh orang pekerja: Bambang Bujono, Retno Kustiati, Fauzan Haryo Soedigdo, Joko Sulistyo, Susthanto, Ahmad Arif Wira'i dan Novi Rachmawati. Oleh Serikat Karyawan Trust (Sekat), PHK tersebut dianggap menyalahi UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Alasannya, selain tidak pernah diajak berdialog dalam proses PHK tersebut, Sekat juga menilai kriteria PHK sangat sepihak, mengandung unsur inkonsistensi dan hanya untuk memenuhi target investor.

Sekat meminta agar PHK dibatalkan. Mereka menilai efisiensi sebagai jawaban atas merosotnya kinerja perusahaan adalah tanggungjawab para pemimpin. Karena itulah, Bambang Bujono mengusulkan agar gaji para pimpinan dipotong.

Sebagai dampak atas kejadian ini, pada 3 Januari 2005 sebanyak 14 pekerja melayangkan mosi tidak percaya kepada manajemen—hingga memunculkan dua kelompok, yakni yang menerima PHK dan yang menolak PHK (termasuk para koresponden di daerah). Karena tidak bisa berekonsiliasi, akhirnya diumumkan akan ada salah satu kelompok yang tidak dipakai oleh perusahaan. Hingga, pada 1 Maret 2005 direksi pun mengeluarkan keputusan kedua untuk mem-PHK sejumlah pekerja, di antaranya Rusdi Mathari (ketua Sekat), Lutfi Yusniar (sekretaris Sekat), Yus Ariyanto, Fahmi Imanullah, Andrianto Soekarnen, serta Bajo Winarno.

Silang sengkarut ketenagakerjaan yang memakan waktu hingga bertahun-tahun seperti ini semestinya dijadikan cermin oleh para pekerja media. Bahwa, yang telah berserikat pun secara mudah bisa di-PHK, apalagi yang tidak berserikat.

Dan, terkait dengan masih berlarutnya penyelesaian masalah ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menyatakan:

  1. Mendesak manajemen Trust untuk segera membayarkan pesangon pekerja seperti yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung, guna menghindari dampak yang lebih buruk di kemudian hari.
  2. Menyerukan kepada seluruh pekerja media untuk mengorganisasikan diri dalam serikat pekerja media untuk memperjuangkan kesejahteraan dan hak-haknya.
  3. Menyerukan kepada seluruh serikat pekerja media di Indonesia untuk bersatu dalam Federasi Serikat Pekerja Media-Independen, untuk membangun solidaritas yang lebih luas.

Jakarta, 17 Juli 2008

Persatuan Bagi Pekerja Media!

Winuranto Adhi Jajang Jamaludin

Koordinator Divisi Serikat Pekerja Ketua

Budaya: Harta yang Terus Dirampas

Kisah sedih dialami Desak Suarti, seorang pengerajin perak dari
Gianyar, Bali . Pada mulanya, Desak menjual karyanya kepada seorang
konsumen di luar negeri. Orang ini kemudian mematenkan desain
tersebut. Beberapa waktu kemudian, Desak hendak mengekspor kembali
karyanya. Tiba-tiba, ia dituduh melanggar Trade Related Intellectual
Property Rights (TRIPs). Wanita inipun harus berurusan dengan WTO.

" Susah sekarang, kami semuanya khawatir, jangan-jangan nanti beberapa
motif asli Bali seperti `patra punggal', `batun poh', dan beberapa
motif lainnya juga dipatenkan" kata Desak Suarti dalam sebuah wawancara.

Kisah sedih Desak Suarti ternyata tidak berhenti sampai di sana .
Ratusan pengrajin, seniman, serta desainer di Bali kini resah menyusul
dipatenkannya beberapa motif desain asli Bali oleh warga negara asing.
Tindakan warga asing yang mempatenkan desain warisan leluhur orang
Bali ini membuat seniman, pengrajin, serta desainer takut untuk berkarya.

Salah satu desainer yang ikut merasa resah adalah Anak Agung Anom
Pujastawa. Semenjak dipatenkannya beberapa motif desain asli Bali oleh
warga asing, Agung kini merasa tak bebas berkarya. "Sebelumnya, dalam
satu bulan saya bisa menghasilkan 30 karya desain perhiasan perak.
Karena dihinggapi rasa cemas, sekarang saya tidak bisa menghasilkan
satu desain pun," ujarnya hari ini.

Potret di atas adalah salah satu gambaran permasalahan perlindungan
budaya di tanah air. Cerita ini menambah daftar budaya indonesia yang
dicuri, diklaim atau dipatenkan oleh negara lain, seperti Batik
Adidas, Sambal Balido, Tempe , Lakon Ilagaligo, Ukiran Jepara, Kopi
Toraja, Kopi Aceh, Reog Ponorogo, Lagu Rasa Sayang Sayange, dan lain
sebagainya.


LANGKAH KE DEPAN

Indonesia harus bangkit dan melakukan sesuatu. Hal inilah yang
melatarbelakangi berdirinya Indonesian Archipelago Culture Initiatives
(IACI), informasi lebih jauh dapat dilihat di
http://budaya- indonesia. org/. Untuk dapat mencegah agar kejadian di
atas tidak terus berlanjut, kita harus melakukan sesuatu. Setidaknya
ada 2 hal perlu kita secara sinergis, yaitu:

1. Mendukung upaya perlindungan budaya Indonesia secara hukum. Kepada
rekan-rekan sebangsa dan setanah air yang memiliki kepedulian (baik
bantuian ide, tenaga maupun donasi) di bagian ini, harap menggubungi
IACI di email:
office@budaya- indonesia. org

2. Mendukung proses pendataan kekayaan budaya Indonesia . Perlindungan
hukum tanpa data yang baik tidak akan bekerja secara optimal. Jadi,
jika temen-temen memiliki koleksi gambar, lagu atau video tentang
budaya Indonesia , mohon upload ke situs PERPUSTAKAAN DIGITAL BUDAYA
INDONESIA , dengan alamat
http://budaya- indonesia. org/
Jika Anda memiliki kesulitan untuk mengupload data, silahkan menggubungi IACI di
email:
office@budaya- indonesia. org

- Lucky Setiawan

nb: Mohon bantuanya untuk menyebarkan pesan ini ke email ke teman,
mailing-list, situs, atau blog, yang Anda miliki. Mari kita dukung
upaya pelestarian budaya Indonesia secara online.

Jumat, 26 September 2008

UPAH LAYAK JURNALIS MALANG

PERS RELEASE
UPAH LAYAK JURNALIS MALANG Rp 2,4 JUTA

Pertumbuhan industri media, pasca reformasi tahun 1998 bergulir sangat
tinggi. Media cetak ataupun elektronik menjamur. Kompetisi antarmedia
menjadi kian ketat dan pasar menjadi kian kritis.

Dengan kompetisi antarmedia yang ketat, para pekerja pers dituntut
untuk bersikap profesional dalam bekerja dan memberikan loyalitas yang
tinggi kepada perusahaan. Tetapi, tuntutan ini tidak diiringi dengan
sikap pemilik modal (baca: pengusaha) di yang loyal kepada para
pekerjanya, terutama dalam hal kesejahteraan.

Salah satu isu yang paling menarik dan perlu mendapatkan perhatian
adalah saat ini belum ada standar pengupahan bagi para pekerja pers
lainnya, terutama upah yang layak diterima wartawan. Ada media yang
bisa memberikan upah yang besar sementara ada media yang hanya mampu
memberikan upah secara pas-pasan, bahkan dibawah UMP Upah Minimum
Propinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK). Dari sekian
banyak perusahaan media di Indonesia (termasuk di Malang), sebagian
besar perusahaan masih memberikan upah yang rendah untuk para
jurnalisnya.

Upah yang rendah ditambah dengan belum adanya pembatasan modal minimal
untuk mendirikan perusahaan media dan struktur ekonomi makro di
Indonesia yang semakin sulit dari tahun ke tahun mengakibatkan
buruknya kesejahteraan para pekerja pers. Kesejahteraan yang buruk ini
berdampak pada kinerja para pekerja pers yang menjadi tidak
profesional dan menerima amplop.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang berupaya untuk meningkatkan
kesejahteraan jurnalis melalui pembentukan serikat pekerja pers dan
memperjuangkan ditetapkannya upah layak bagi jurnalis Malang Raya
(Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu). Upah layak ini
merupakan salah satu cara untuk mendekonstruksi budaya amplop dan
meningkatkan profesionalisme jurnalis yang akan berdampak bagi
kemajuan perusahaan.

AJI Malang melakukan survey untuk menentukan besarnya upah layak yang
harus diberikan oleh perusahaan. Survey ini dilakukan untuk
mendapatkan nilai yang seobyektif mungkin berdasarkan kebutuhan hidup
jurnalis yang tentu saja berbeda dengan kebutuhan pekerja sektor
lainnya.

Di dalam survey ini, AJI Malang menetapkan lima komponen kebutuhan
jurnalis secara individu atau belum/tidak termasuk keluarga. Lima
komponen itu adalah makanan dan minuman, sandang, perumahan, aneka
kebutuhan lain dan tabungan. Setelah menetapkan lima komponen itu, AJI
Malang melakukan survey harga.

Survey harga dilangsungkan selama seminggu pada minggu pertama
September 2008 di lima lokasi yang berbeda dan melakukan wawancara
dengan jurnalis. Untuk kebutuhan bahan mentah dilakukan di lima mini
market, untuk perumahan di lima lokasi kost jurnalis. Hasil survey dan
wawancara ini kemudian ditabulasi untuk mendapatkan upah layak
jurnalis di Malang.

Berdasarkan survey ini, AJI Malang menetapkan upah layak jurnalis di
Malang sebesar Rp 2,399,705 yang dibulatkan menjadi Rp 2,400,000.

Dengan didapatkannya nilai upah layak bagi jurnalis di Malang
berdasarkan hasil survey, Maka AJI Malang meminta:

1. Kepada perusahaan media di Malang Raya agar memberikan upah layak
untuk jurnalisnya sebesar Rp 2, 400,000.
2. Kepara para jurnalis di Malang Raya agar berjuang untuk mendapatkan
upah layak ini secara profesional, baik melalui saluran organisasi
serikat pekerja maupun melalui perundingan.

Terimakasih.

Malang, 15 September 2008

BIBIN BINTARIADI BENI BROJO
Ketua Koordinator Divisi Serikat Pekerja

Minggu, 24 Agustus 2008

Pelacuran dan AIDS, Masalah Sosial yang Rumit


Jailolo, Halmahera Barat. Pagi tanggal 6 Agustus 2008. Saya lagi asyik membaca tumpukan dokumen verifikasi calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Maluku Utara. Membuka satu demi satu, diantara mereka ada muka lama di DPD, yang kiprahnya di senat sudah diketahui rakyat Maluku Utara.

Karena kelelahan, saya istirahat. Sekadar refreshing, saya berselancar di dunia maya. Waktu membuka Kompas online, saya kaget. Karena di berita daerah saya, Ternate, ada satu berita yang mengusik pikiran saya. Judulnya, “PSK di Ternate Makin Mengkhawatirkan”. Laporan yang dikutip dari KBN ANTARA itu sudah biasa, tapi ketika diangkat menjai wacana nasional, saya jelas kaget.

Membaca berita ini secara serius, saya teringat penelitian sejumlah dosen muda di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate. Laporan tim yang dinakhodai Taty Sumiaty, SKM., dari Fakultas Ilmu Kesehatan UMMU ini mendeskripsikan secara telanjang, betapa wajah kota yang disebut-sebut pernah punya sejarah Islam yang gemilang di masa lalu, mulai dari Zainal Abidin, Baabullah, hingga Bayan Sirullah, kini telah bopeng sana sini.

Penelitian tiga dosen muda di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara akhir 2006, tentang perilaku seks di kalangan pelajar SMU, melengkapi keterkejutan warga Ternate. Kurang lebih 12,7 persen dari 1076 sampel, atau sekitar 137 siswa SMU, ternyata pernah melakukan seks bebas. Entah itu dengan pacar, teman, saudara, bahkan dengan pekerja seks.

Dari segi usia, ternyata pengalaman berhubungan layaknya suami istri, telah dilakukan anak-anak ini sejak usia yang masih sangat dini. Sebanyak 137 siswa dan siswi SMU ini, 21,9 persen sudah melakukan di usia antara 12 hingga 14 tahun. Jumlah terbesar, 73 persen, mengaku sudah melakukan hubungan badan dengan lawan jenis di usia 15 sampai 17 tahun. Hanya 2,2 persen yang melakukan di atas usia 17 tahun.

Studi di 17 SMU dan sederajat di kota Ternate ini hanya menegaskan dengan jelas gambaran wajah kota Ternate kini, dalam bentuk yang paling kelam. Bukan rahasia lagi, perilaku seks menyimpang ini telah melahirkan generasi pelajar sekolah menengah yang disebut dengan toteba, yang memandang, berhubungan seks tak lebih dari proses jual beli. Bukan lagi sekadar just for fun.

Budaya Ternate sendiri, yang cenderung terbuka (inklusif) memberi peluang bagi masuknya budaya asing, baik yang positif maupun negative. Penetrasi budaya ini sudah terjadi sejak jaman Portugis, lalu Belanda, dan akhirnya sekarang, membentuk karakter masyarakat yang cenderung bisa menerima akulturasi budaya.

Bagusnya, di masa lalu, Islam selalu menjadi filter, yang dibahasakan sebagai “Adat matoto agama Rasulullah”. Dengan demikian, pemegang otoritas hukum kesultanan Ternate masih dapat menindak mereka yang dianggap melanggar adat, dengan hukum kesultanan yang tegas.

Seiring berjalannya waktu, kemerdekaan Indonesia memberi ruang bagi tumbuhnya daerah-daerah bisnis baru. Ternate, sebagai Bandar bisnis tradinional, terus tumbuh menjadi daerah pelabuhan baru. Pembenahan oleh pemerintah terus dilakukan.

Nah, sebagai kota Bandar, mau tidak mau Ternate harus menerima kenyataan, tumbuhnya pelacuran terselubung. Awalnya, hanya untuk melayani para pelaut yang kebetulan menyinggahi pelabuhan Ternate, kemudian berlanjut masyarakat lokal juga mulai menjadi konsumen para pekerja seks ini.

Dari sini, pelacuran kemudian membentuk komunitas tersendiri yang cenderung ekslusif, dan mulai dikendalikan oleh tangan-tangan tak terlihat. Komunitas ini yang lalu menjadi bisnis yang dikelola secara professional, mulai dari memasok pelacur dari Sulawesi dan Jawa, hingga mendistribusikan ke diskotik-diskotik, karaoke room, dan hotel.

Pada tahun 1990-an, majalah Fakta menulis tentang Bastiong, sebuah kelurahan di daerah pelabuhan di Ternate. Judul tulisannya menyengat banyak pihak, “Bastiong, Kampung Penuh Dosa.” Deskripsi tentang perilaku penjaja seks di sepanjang tepian jalan dekat pelabuhan sungguh memiriskan hati, sekaligus menyentak kesadaran banyak petinggi politik maupun agamawan di Ternate.

Berita itu sempat membuat petinggi pemerintah Kabupaten Maluku Utara (saat itu Maluku Utara belum provinsi sendiri, masih gabung dengan Maluku) meradang. Penertiban pelaku seks jalanan berlangsung di bawah kendali Bupati Kolonel Abdullah Assagaf (sekarang Brigjen purnawirawan).

Sempat berhenti beberapa saat, namun karena para cukongnya tak terjerat, maka kemudian diam-diam muncul lagi. Diskotik juga mulai jadi tempat mejeng baru bagi para PSK yang diambil dari wilayah Sulawesi Utara dan Jawa/Sunda.

Keadaan ini terus berjalan hingga saat konflik horizontal di Maluku Utara, 1999 – 2000 silam. Di saat laskar Jihad sibuk mengurus orang untuk menegakkan syariat Islam, di jantung kota, para pelacur juga sibuk melayani para pelanggannya. Saat itu, saya bekerja di Mingguan Ternate Pos. Saya pernah ditugasi pemred saya, Rahman Lahabato, menulis tentang pelacuran yang kian merajalela. Saat yang sama, bos saya di Jakarta, Sri Raharti Adiningrum, Kordinator Daerah Majalah Forum Keadilan, meminta saya menulis tentang janda-janda korban konflik.

Bersama Alwi Attamimi, kami berdua menelusuri jejak-jejak pelaku PSK. Penelusuran kami akhirnya sampai ke pertigaan di depan Gereja Ayam Ternate. Di samping gereja yang waktu itu masih hancur karena konflik komunal, kami menemukan yang kami cari: kafe kecil, yang di bagian belakangnya ada bilik-bilik kecil untuk para pekerja seks ini.

Kami tak berani wawancara, karena saat itu situasi masih mencekam, ada beberapa prajurit TNI BKO yang hilir mudik dan bercanda dengan “ayam-ayam” kampong ini, maklum Presiden Gus Dur baru baru memberlakukan status Keadaan Darurat Sipil di Maluku dan Maluku Utara.

Tapi, melongok kamar-kamar sederhana di kamar-kamar kafe yang bernama pondok Kelapa itu, kita terhenyak. Di pintu kamar ada stiker bertuliskan, “ketuk dan ucapkan, Assalamualaikum. Tulisan Assalamualaikum dalam aksara Arab. Di kamar sebelahnya, begitu saya dengan kawan Alwi melongok ke dalam, di samping seorang gadis yang lagi duduk, terlihat salib kecil di samping meja rias kecil.

Padahal tak jauh dari situ, anggota laskar Ahlussunnah Wal Jamaah, semacam provost-nya Laskar Jihad, terlihat menggeledah kafe dan rumah yang diduga menampung perempuan pekerja malam. Sekali waktu, saya sempat menyaksikan mereka menggerebek rumah yang di dalamnya ada empat orang, satu diantaranya perempuan, lagi asyik bermain judi. Pelakunya digelandang ke depan mesjid Al-Fajry, yang menjadi basis pasukan Jihad lokal.

Peristiwa yang delapan tahun berlalu itu telah menjadi sejarah. Tapi perilaku penjaja seks tetap tak berubah. Bahkan makin canggih dan jumlahnya makin meningkat seiring tumbuhnya bisnis hiburan malam, macam karaoke dan diskotik yang bertameng kafe & Restoran.

Inilah fakta, kota Madani yang diidamkan warganya, tercemar nista dan AIDS. Kota yang oleh Jubair Situmorang, dari STAIN Ternate, diistilahkan sebagai mengalami kejutan akibat lompatan budaya yang terlalu radikal, yang tak mampu direduksi warganya. Menurutnya, ini fenomena yang harus ditangkap dengan serius oleh warganya, utamanya oleh pemerintah dan tokoh masyarakatnya. Agar identitas religious kota Madani tak serta merta tercerabut begitu saja.

Drs. Mudaffar Syah, sultan Ternate mengaku, pergeseran budaya memang sudah jadi fenomena nasional. Tapi menurutnya, jika perencanaan tentang pembinaan masyarakat tidak memiliki konsep yang jelas, maka lebih kacau lagi. “Masyarakat kita, utamanya anak muda, akan jadi korban,” jelas politisi PDK yang kini duduk di kursi DPR RI ini.

Ternate, 13 Agustus 2008