Minggu, 05 Oktober 2008

Perundingan Damai Thailand Selatan, Kalla Sangat Terpukul Komentar Jubir Presiden SBY

Media Indonesia
Jum'at, 26 September 2008 15:33 WIB

Reporter : Mahfud

Perundingan damai konflik Thailand Selatan dirintis akhir pekan lalu yang dimediasi Jusuf Kalla. Namun Kalla mengaku sangat terpukul dengan komentar jurubicara Kepresidenan Dino Patty Djalal yang berbuntut ketersinggungan Pemerintah Thailand sehingga mengancam proses perundingan.

Dino, hari Minggu (21/9) lalu memberikan pernyataan ke media massa soal perundingan konflik Thailand Selatan. Dalam komentarnya Dino sempat menyinggung materi pembicaraan bahwa perundingan mencapai sejumlah prinsip yang penting meski ada sejumlah posisi sulit yang masih harus dijembatani.

Perundingan damai konflik Thailan Selatang di mediasi Jusuf Kalla di Istana Bogor Sabtu-Minggu pekan lalu.

“Waduh, begitu keluar statemen itu (Dino Patty Djalal) saya betul-betul terpukul,” kata Kalla gusar saat jumpa pers di kantor Wapres, Jumat (26/9) menanggapi peryataan Dino Patty Djalal.

Komentar Dino tersebut, tutur Kalla berdampak luas di Thailand yang mengancam kelangsungan perundingan damai.

“Terjadi perdebatan yang hangat di Thailand yang tidak perlu, saya menjadi tidak enak. Begitu kita tidak jaga etika, buyar, bukan buyar disini tetapi di negara orang,” tegas Kalla dengan bibir bergetar.

Kalla mengaku talah menegur Dino yang seharusnya menjaga etika dan kepercayaan. Pernyataan Dino adalah inisiatif pribadi dan belum mendapat instruksi dari Wapres.

“Yang kita perlukan trust negara. negara tdk boleh membocorkan apa yg dibicarakan. Itu etika. Karena saya mewakili negara, orang fikir negara yang membocorkan. Padahal tidak ada instruksi dari saya,” geram Kalla.

Kalla menuturkan etika dan pengetahuan menjadi mediator harus betul-betul dipahami. Karena itu Kalla menyatakan tidak memberikan informasi kepada pers. Jikapun ada satu atau dua orang wartawan itu, sekedar untuk merekam dan bisa menulis dengan tuntas setelah perundingan berhasil. Tujuannya semata-mata untuk pelajaran ke depan.

“Itu permasalahan etika dan pengetuhan tentang perdamaian harus dipahami. Karena itu dimana-mana saya tutup dari Anda,” terangnya.

Kalla dalam kesempatan itu berkali-kali menekankan persoalan etika yang harus dijaga mediator. “Ribut itu di Thailand, bisa gagal itu perundingan hanya gara-gara karena kita tidak tahu etika,” sesal Kalla.

Kalla menambahkan untuk mempertemukan dua pihak yang bertikai, mediator haruslah benar-benar bisa dipercaya kedua belah pihak. Untuk itu syarat utama mediator yaitu menjaga etika harus benar-benar dijalankan.

Kalla mencontohkan mediator seharusnya tidak memberikan komentar mengenai materi perundingan tanpa seijin pihak yang berunding.

“Saya sudah tanya ke mereka apakah mau bicara dengan pers, jawabannya tidak, tidak. Maka saya tidak kasih komentar. Kalau mediator mengeluarkan isi pembicaraan itu melanggar etika,” papar Kalla.

Mengenai pernyataan pihak Thailan bahwa delegasi yang dikirim bukan dari pemerintah, Kalla menepisnya. Menurut Kalla, tidak banyak pihak yang tahu termasuk Departemen Luar Negeri Thailand yang beberapa waktu lalu memberikan pernyataan tidak ada delegasi pemerintah Thailand yang dikirim.

“Yang memberi mandat itu lebih dari Menlu, siapa bilang tidak resmi. Satu dua orang tidak mengerti karena pertemuan sangat tertutp. Delegasi sangat resmi dengan mandat atasannya Menlu Thailand,” lanjut Kalla.

Kalla juga menyentil Deplu Thailand yang seharusnya tidak berkomentar karena permasalahan adalah konflik dalam negari Thailand. Jika Deplu yang berkomentar maka terkesan menjadi masalah luar negari

“Sama dulu Indonesia (perjanjian Helsinski) Deplu tidak ikutan. Kalau Deplu ikut, itu jadi masalah luar negeri. Padahal konflik adalah masalah dalam negeri,” jelas Kalla. (Fud)

Umumkan Capres di Istana, SBY Dituding Langgar Etika

(http://kompas.com)

Tanggal : 03 Oct 2008

JAKARTA, JUMAT-Keinginan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) untuk kembali maju dalam pertarungan Pilpres 2009, ternyata mendapat kritikan tajam dari para pengamat politik. Yang dipermasalahkan, tak lain keinginan SBY maju dalam Pilpres 2009 dan kemungkinan akan kembali berduet dengan Wapres Jusuf Kalla, tak lain, karena pengumuman dilakukan di Istana Negara.

Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menganggap, pengumumunan rencana maju sebagai capres di Istana Negara, sama saja sudah melanggar etika politik. Sementara pengamat politik yang juga capres independen Fadjroel Rahman menyatakan, Bawaslu harus memberikan sanksi tegas kepada Presiden SBY.

"Presiden SBY telah melanggar etika. Seharusnya mengumumkan pencalonan dirinya kembali sebagai capres, harus dilakukan di tempat netral, bukan Istana Negara. Presiden SBY, bukanlah seorang raja dan tiran yang bisa mengumumkan kelanjutan tirani kekuasaannya di Istana kerajaan atau di lingkungan pemerintahan yang seharusnya menjadi tempat yang netral," kata Ray Rangkuti secara khusus kepada Persda Network, Jumat (3/10).

Ray mengakui, memang tidak ada perundang-undangan yang mengatur bagi para calon kandidat capres dan cawapres yang diperbolehka dimana harus mengumumkak pencalonannya. Namun, secara etika politik, kata Ray, tentu saja Istana tidak bisa dijadikan tempat untuk ajang kampanye.

"Yang kita kritisi adalah terkait dengan etika pengelolaan negara. Sering kali kita memandang etika bernegara itu dengan sepele. Padahal, itu hal yang sangat fundamental konstitusi dan pengelolaan pemerintahan yang baik dan bersih. Karena ini hanya masalah pelanggaran etika politik saja, maka sanksi yang didapat hanyalah sanksi sosial. Jadi, ada baiknya ini pelajaran bagi para incumbent yang ingin kembali maju baik sebagai calon presiden atau apapun.

Sebelumnya diberitakan, Minggu (28/9) Presiden SBY menyatakan diri kembali maju sebagai calon presiden pada pemilihan presiden 2009. Ia pun memberi isyarat masih akan berpasangan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Jika terpilih, inilah periode kedua dan terakhir SBY menjabat sebagai Presiden.

Pengamat politik yang juga capres independen Fadjroel Rahman menegaskan kembali, memakai fasilitas negara untuk kepentingan pribadi jelas sebuah pelanggaran etika dalam berpolitik. Bila memang hukum ingin ditegakkan, harusnya kepada siapapun yang melanggar mesti mendapatkan tindakan sanksi, terutama oleh pihak Bawaslu.

"Memakai fasilitas negara untuk kepentingan pribadi dan parpol adalah korupsi, tidak hanya sekedar masalah etis saja. Pelanggaran hukum ini mesti diusut oleh Bawaslu agar hukum bisa berlaku kepada siapapun. Tak terkecuali kepada Presiden SBY," tandas Fadjroel Rahman.

Praktik pemakaian fasilitas negara ini memang kerap dilakukan secara berulang-ulang dalam berbagai bentuk. Menurutnya, tak terkecuali kepada Presiden SBY, kepada kepala negara sebelumnya, termasuk mantan penguasa Orde Baru, Soeharto juga kerap melakukan.

"Jadi, demi menegakkan iklim demokrasi yang lebih baik, adanya pelanggaran etika sekarang ini haruslah ditegakkan hukum kepada siapapun yang melanggar.

Sekjen DPP PDI Perjuangan Pramono Anung saat ditemui usai shalat Ied di Kantor DPP PDI Perjuangan, Rabu (1/10) lalu berharap, UU Pilpres yang akan dikelurkan nanti harus bisa mengatur secara detail terkait larangan kepada para kandidat untuk tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.

"Salah satu hal kelemahan yang lalu, memang belum diatur secara lebih jelas. Sebenarnya gampang sekali, ketika melakukan sosialisasi pribadi, tidak boleh simbol-simbol kenegaraan itu ada. Dan pada waktu, walapun belum diatur oleh undang-undang ketika ibu Megawati melakukan sosialisasi pribadi, tidak pernah, contoh sederhana saja, menggunakan kendaraan atau mobil negara yang merupakan simbol kepresidenan, " papar Pramono.

"Nah, harusnya itu juga harus dilakukan sama kepada semua calon-calon presiden yang lain. Kita ingin memberikan catatan, harusnya Istana Negara itu kan pusat pemerintahan atau pusat negara, bukan pusat bagi seseorang untuk mencalonkan diri. Kalau mau mencalonkan diri, silahkan dimana saja, jangan di Istana Negara," tandas Pramono Anung. (Persda Network/Rachmat Hidayat)

Kamis, 02 Oktober 2008

Kampungku



On July 9, 2007, the Indonesian volcano Mount Gamkonora began spewing hot ash and smoke from its crater. Columns of ash and smoke shot up over 3,000 meters, prompting authorities to declare a "state of alert" and evacuate approximately 8,000 residents from the area.
Fast Facts

1. Height: 1,325 meters
2. Located in North Maluku province
3. The highest peak on Halmahera Island
4. Last eruption was in 1987
5. Last major eruption was in 1673

Situation Downgraded

On July 16, 2007, authorities downgraded the state of alert after volcanic activity and seismic tremors had declined. The evacuated residents were allowed to return to their homes, none of which had incurred any damage. No casualties or injuries were reported following the volcanic activity, but some residents complained of breathing problems due to high levels of ash in the air.

Herald Tribune
Gamkonora volcano erupts in eastern Indonesia
The Associated Press
Published: July 9, 2007


JAKARTA, Indonesia: A volcano in eastern Indonesia erupted on Monday, sending thick clouds of smoke up to 1,000 meters (3,280 feet) in the air, the government's volcano monitoring agency said.

The agency raised the alert level at Mount Gamkonora to the second highest level, meaning a major eruption was possible in the coming weeks and villagers on its slopes should ready themselves for evacuation, according to a posting on its Web site.

Seismic activity at the 1,635-meter (5,364-feet) mountain has been increasing over the past nine days, but on Monday tremors increased and it spat out clouds of smoke and ash that soared high in the air, the posting said.

Authorities close to the volcano on remote Halmahera island were not immediately available for comment. Halmahera lies about 2,400 kilometers (1,490 miles) northeast of Jakarta.

Indonesia has more active volcanoes than any other nation because of its location on the Pacific "Ring of Fire" — a series of fault lines stretching from the Western Hemisphere through Japan and Southeast Asia. -030-


BBC
Thousands flee Indonesia volcano

Ash clouds spew from Mount Gamkonora, in North Maluku province, Indonesia - 09/07/07
Mount Gamkonora is one of 129 active volcanoes in Indonesia

Volcanic eruptions
Thousands of Indonesians have been evacuated from the slopes of a volcano that is spewing out hot ash and smoke in the east of the country.

The alert around Mount Gamkonora, in North Maluku province, has been raised to its highest level amid fears a major eruption could be imminent.

Scientists have reported seeing fire and ash clouds rising as high as 4,000m (13,100ft) since Monday.

Some 8,400 villagers have been moved to special camps away from the volcano.

However, scientists are warning that lava could still reach the camps if there is a large eruption - and have advised residents to wear face masks to protect themselves from the ash clouds.

Some 2,000 people are reported to have chosen to remain within the 8km (five mile) danger zone marked out by officials.

'Ring of Fire'

Activity at the 1,635m mountain rose sharply on Monday, prompting scientists to raise the alert level.

Saut Simatupang of Indonesia's Vulcanological Survey told Reuters news agency that the volcano was spitting out volcanic ash as high as 4,000m at its peak on Monday.

Map

He said there had been less smoke and ash on Tuesday "but that does not mean the volcano is safe".

Mt Gamkonora is the highest peak on the island of Halmahera in North Maluku province, some 2,400km east of the Indonesian capital Jakarta.

It is one of at least 120 active volcanoes in Indonesia, which is part of the Asia-Pacific "Ring of Fire", a series of volcanoes and fault lines stretching from the Western Hemisphere through Japan and South East Asia.

Gamkonora Volcano Eruptions

2007, 1987, 1981, 1952, 1951, 1950, 1949, 1926, 1917, 1911, 1885, 1673.

Sabtu, 27 September 2008

Akhir Perseteruan TRUST & ex Karyawannya

No. : 04/AJI Jakarta/VII/ 08

Hal : Statemen atas putusan kasasi MA terhadap PHK karyawan Trust

"Segera Bayar Pesangon Bambang Bujono, Rusdi Mathari, dan Bajo Winarno"

Berani mem-PHK, tetapi tidak sanggup menerima konsekuensinya. Hal inilah yang ditunjukkan manajemen majalah Trust terhadap tiga bekas pekerjannya: Bambang Bujono, Rusdi Mathari, dan Bajo Winarno—yang di-PHK sejak 1 Maret 2005 lalu.

Dalam amar putusan kasasi Mahkamah Agung No. 297 K/PHI/2007 tertanggal 17 Desember 2007, majelis hakim memerintahkan agar PT Hikmat Makna Aksara—selaku penerbit majalah Trust—membayar pesangon kepada ketiganya sebesar Rp 294.847.200. Rinciannya, kepada Bambang Bujono (redaktur senior) Rp 226.500.000, Rusdi Mathari (redaktur) Rp 47.962.200, dan Bajo Winarno (reporter) Rp 20.385.000.

Sejak menjadi kekuatan hukum tetap, mestinya manajemen langsung membayarkan kewajibannya itu secara tunai kepada pekerja. Tapi nyatanya hingga sekarang manajemen Trust belum bersedia melaksanakan putusan MA tersebut. Direksi yang diwakili Ferdinand BM Wewengkang (Direktur Utama) dan Bambang Aji (Direktur Produksi/Pemred Trust), serta L. Pramono (Direktur Usaha) berdalih, perusahaan sedang mengalami kesulitan keuangan. Mereka mau membayar pesangon pekerja, tapi dengan cara dicicil.

Tindakan pengabaian hak pekerja ini tidak semestinya terjadi jika manajemen telah menghitung konsekuensi tindakannya saat mem-PHK pekerja. Apalagi perjalanan kasus ini hingga akhirnya MA mengetuk palu putusan telah memakan waktu hampir empat tahun.

Kembali mengingatkan, kasus PHK di majalah Trust terjadi dalam dua gelombang. Pada keputusan PHK pertama yang dikeluarkan 23 Desember 2004, manajemen memecat tujuh orang pekerja: Bambang Bujono, Retno Kustiati, Fauzan Haryo Soedigdo, Joko Sulistyo, Susthanto, Ahmad Arif Wira'i dan Novi Rachmawati. Oleh Serikat Karyawan Trust (Sekat), PHK tersebut dianggap menyalahi UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Alasannya, selain tidak pernah diajak berdialog dalam proses PHK tersebut, Sekat juga menilai kriteria PHK sangat sepihak, mengandung unsur inkonsistensi dan hanya untuk memenuhi target investor.

Sekat meminta agar PHK dibatalkan. Mereka menilai efisiensi sebagai jawaban atas merosotnya kinerja perusahaan adalah tanggungjawab para pemimpin. Karena itulah, Bambang Bujono mengusulkan agar gaji para pimpinan dipotong.

Sebagai dampak atas kejadian ini, pada 3 Januari 2005 sebanyak 14 pekerja melayangkan mosi tidak percaya kepada manajemen—hingga memunculkan dua kelompok, yakni yang menerima PHK dan yang menolak PHK (termasuk para koresponden di daerah). Karena tidak bisa berekonsiliasi, akhirnya diumumkan akan ada salah satu kelompok yang tidak dipakai oleh perusahaan. Hingga, pada 1 Maret 2005 direksi pun mengeluarkan keputusan kedua untuk mem-PHK sejumlah pekerja, di antaranya Rusdi Mathari (ketua Sekat), Lutfi Yusniar (sekretaris Sekat), Yus Ariyanto, Fahmi Imanullah, Andrianto Soekarnen, serta Bajo Winarno.

Silang sengkarut ketenagakerjaan yang memakan waktu hingga bertahun-tahun seperti ini semestinya dijadikan cermin oleh para pekerja media. Bahwa, yang telah berserikat pun secara mudah bisa di-PHK, apalagi yang tidak berserikat.

Dan, terkait dengan masih berlarutnya penyelesaian masalah ini, Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jakarta menyatakan:

  1. Mendesak manajemen Trust untuk segera membayarkan pesangon pekerja seperti yang telah diputuskan oleh Mahkamah Agung, guna menghindari dampak yang lebih buruk di kemudian hari.
  2. Menyerukan kepada seluruh pekerja media untuk mengorganisasikan diri dalam serikat pekerja media untuk memperjuangkan kesejahteraan dan hak-haknya.
  3. Menyerukan kepada seluruh serikat pekerja media di Indonesia untuk bersatu dalam Federasi Serikat Pekerja Media-Independen, untuk membangun solidaritas yang lebih luas.

Jakarta, 17 Juli 2008

Persatuan Bagi Pekerja Media!

Winuranto Adhi Jajang Jamaludin

Koordinator Divisi Serikat Pekerja Ketua

Budaya: Harta yang Terus Dirampas

Kisah sedih dialami Desak Suarti, seorang pengerajin perak dari
Gianyar, Bali . Pada mulanya, Desak menjual karyanya kepada seorang
konsumen di luar negeri. Orang ini kemudian mematenkan desain
tersebut. Beberapa waktu kemudian, Desak hendak mengekspor kembali
karyanya. Tiba-tiba, ia dituduh melanggar Trade Related Intellectual
Property Rights (TRIPs). Wanita inipun harus berurusan dengan WTO.

" Susah sekarang, kami semuanya khawatir, jangan-jangan nanti beberapa
motif asli Bali seperti `patra punggal', `batun poh', dan beberapa
motif lainnya juga dipatenkan" kata Desak Suarti dalam sebuah wawancara.

Kisah sedih Desak Suarti ternyata tidak berhenti sampai di sana .
Ratusan pengrajin, seniman, serta desainer di Bali kini resah menyusul
dipatenkannya beberapa motif desain asli Bali oleh warga negara asing.
Tindakan warga asing yang mempatenkan desain warisan leluhur orang
Bali ini membuat seniman, pengrajin, serta desainer takut untuk berkarya.

Salah satu desainer yang ikut merasa resah adalah Anak Agung Anom
Pujastawa. Semenjak dipatenkannya beberapa motif desain asli Bali oleh
warga asing, Agung kini merasa tak bebas berkarya. "Sebelumnya, dalam
satu bulan saya bisa menghasilkan 30 karya desain perhiasan perak.
Karena dihinggapi rasa cemas, sekarang saya tidak bisa menghasilkan
satu desain pun," ujarnya hari ini.

Potret di atas adalah salah satu gambaran permasalahan perlindungan
budaya di tanah air. Cerita ini menambah daftar budaya indonesia yang
dicuri, diklaim atau dipatenkan oleh negara lain, seperti Batik
Adidas, Sambal Balido, Tempe , Lakon Ilagaligo, Ukiran Jepara, Kopi
Toraja, Kopi Aceh, Reog Ponorogo, Lagu Rasa Sayang Sayange, dan lain
sebagainya.


LANGKAH KE DEPAN

Indonesia harus bangkit dan melakukan sesuatu. Hal inilah yang
melatarbelakangi berdirinya Indonesian Archipelago Culture Initiatives
(IACI), informasi lebih jauh dapat dilihat di
http://budaya- indonesia. org/. Untuk dapat mencegah agar kejadian di
atas tidak terus berlanjut, kita harus melakukan sesuatu. Setidaknya
ada 2 hal perlu kita secara sinergis, yaitu:

1. Mendukung upaya perlindungan budaya Indonesia secara hukum. Kepada
rekan-rekan sebangsa dan setanah air yang memiliki kepedulian (baik
bantuian ide, tenaga maupun donasi) di bagian ini, harap menggubungi
IACI di email:
office@budaya- indonesia. org

2. Mendukung proses pendataan kekayaan budaya Indonesia . Perlindungan
hukum tanpa data yang baik tidak akan bekerja secara optimal. Jadi,
jika temen-temen memiliki koleksi gambar, lagu atau video tentang
budaya Indonesia , mohon upload ke situs PERPUSTAKAAN DIGITAL BUDAYA
INDONESIA , dengan alamat
http://budaya- indonesia. org/
Jika Anda memiliki kesulitan untuk mengupload data, silahkan menggubungi IACI di
email:
office@budaya- indonesia. org

- Lucky Setiawan

nb: Mohon bantuanya untuk menyebarkan pesan ini ke email ke teman,
mailing-list, situs, atau blog, yang Anda miliki. Mari kita dukung
upaya pelestarian budaya Indonesia secara online.

Jumat, 26 September 2008

UPAH LAYAK JURNALIS MALANG

PERS RELEASE
UPAH LAYAK JURNALIS MALANG Rp 2,4 JUTA

Pertumbuhan industri media, pasca reformasi tahun 1998 bergulir sangat
tinggi. Media cetak ataupun elektronik menjamur. Kompetisi antarmedia
menjadi kian ketat dan pasar menjadi kian kritis.

Dengan kompetisi antarmedia yang ketat, para pekerja pers dituntut
untuk bersikap profesional dalam bekerja dan memberikan loyalitas yang
tinggi kepada perusahaan. Tetapi, tuntutan ini tidak diiringi dengan
sikap pemilik modal (baca: pengusaha) di yang loyal kepada para
pekerjanya, terutama dalam hal kesejahteraan.

Salah satu isu yang paling menarik dan perlu mendapatkan perhatian
adalah saat ini belum ada standar pengupahan bagi para pekerja pers
lainnya, terutama upah yang layak diterima wartawan. Ada media yang
bisa memberikan upah yang besar sementara ada media yang hanya mampu
memberikan upah secara pas-pasan, bahkan dibawah UMP Upah Minimum
Propinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK). Dari sekian
banyak perusahaan media di Indonesia (termasuk di Malang), sebagian
besar perusahaan masih memberikan upah yang rendah untuk para
jurnalisnya.

Upah yang rendah ditambah dengan belum adanya pembatasan modal minimal
untuk mendirikan perusahaan media dan struktur ekonomi makro di
Indonesia yang semakin sulit dari tahun ke tahun mengakibatkan
buruknya kesejahteraan para pekerja pers. Kesejahteraan yang buruk ini
berdampak pada kinerja para pekerja pers yang menjadi tidak
profesional dan menerima amplop.

Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Malang berupaya untuk meningkatkan
kesejahteraan jurnalis melalui pembentukan serikat pekerja pers dan
memperjuangkan ditetapkannya upah layak bagi jurnalis Malang Raya
(Kabupaten Malang, Kota Malang, dan Kota Batu). Upah layak ini
merupakan salah satu cara untuk mendekonstruksi budaya amplop dan
meningkatkan profesionalisme jurnalis yang akan berdampak bagi
kemajuan perusahaan.

AJI Malang melakukan survey untuk menentukan besarnya upah layak yang
harus diberikan oleh perusahaan. Survey ini dilakukan untuk
mendapatkan nilai yang seobyektif mungkin berdasarkan kebutuhan hidup
jurnalis yang tentu saja berbeda dengan kebutuhan pekerja sektor
lainnya.

Di dalam survey ini, AJI Malang menetapkan lima komponen kebutuhan
jurnalis secara individu atau belum/tidak termasuk keluarga. Lima
komponen itu adalah makanan dan minuman, sandang, perumahan, aneka
kebutuhan lain dan tabungan. Setelah menetapkan lima komponen itu, AJI
Malang melakukan survey harga.

Survey harga dilangsungkan selama seminggu pada minggu pertama
September 2008 di lima lokasi yang berbeda dan melakukan wawancara
dengan jurnalis. Untuk kebutuhan bahan mentah dilakukan di lima mini
market, untuk perumahan di lima lokasi kost jurnalis. Hasil survey dan
wawancara ini kemudian ditabulasi untuk mendapatkan upah layak
jurnalis di Malang.

Berdasarkan survey ini, AJI Malang menetapkan upah layak jurnalis di
Malang sebesar Rp 2,399,705 yang dibulatkan menjadi Rp 2,400,000.

Dengan didapatkannya nilai upah layak bagi jurnalis di Malang
berdasarkan hasil survey, Maka AJI Malang meminta:

1. Kepada perusahaan media di Malang Raya agar memberikan upah layak
untuk jurnalisnya sebesar Rp 2, 400,000.
2. Kepara para jurnalis di Malang Raya agar berjuang untuk mendapatkan
upah layak ini secara profesional, baik melalui saluran organisasi
serikat pekerja maupun melalui perundingan.

Terimakasih.

Malang, 15 September 2008

BIBIN BINTARIADI BENI BROJO
Ketua Koordinator Divisi Serikat Pekerja

Minggu, 24 Agustus 2008

Pelacuran dan AIDS, Masalah Sosial yang Rumit


Jailolo, Halmahera Barat. Pagi tanggal 6 Agustus 2008. Saya lagi asyik membaca tumpukan dokumen verifikasi calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Maluku Utara. Membuka satu demi satu, diantara mereka ada muka lama di DPD, yang kiprahnya di senat sudah diketahui rakyat Maluku Utara.

Karena kelelahan, saya istirahat. Sekadar refreshing, saya berselancar di dunia maya. Waktu membuka Kompas online, saya kaget. Karena di berita daerah saya, Ternate, ada satu berita yang mengusik pikiran saya. Judulnya, “PSK di Ternate Makin Mengkhawatirkan”. Laporan yang dikutip dari KBN ANTARA itu sudah biasa, tapi ketika diangkat menjai wacana nasional, saya jelas kaget.

Membaca berita ini secara serius, saya teringat penelitian sejumlah dosen muda di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate. Laporan tim yang dinakhodai Taty Sumiaty, SKM., dari Fakultas Ilmu Kesehatan UMMU ini mendeskripsikan secara telanjang, betapa wajah kota yang disebut-sebut pernah punya sejarah Islam yang gemilang di masa lalu, mulai dari Zainal Abidin, Baabullah, hingga Bayan Sirullah, kini telah bopeng sana sini.

Penelitian tiga dosen muda di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara akhir 2006, tentang perilaku seks di kalangan pelajar SMU, melengkapi keterkejutan warga Ternate. Kurang lebih 12,7 persen dari 1076 sampel, atau sekitar 137 siswa SMU, ternyata pernah melakukan seks bebas. Entah itu dengan pacar, teman, saudara, bahkan dengan pekerja seks.

Dari segi usia, ternyata pengalaman berhubungan layaknya suami istri, telah dilakukan anak-anak ini sejak usia yang masih sangat dini. Sebanyak 137 siswa dan siswi SMU ini, 21,9 persen sudah melakukan di usia antara 12 hingga 14 tahun. Jumlah terbesar, 73 persen, mengaku sudah melakukan hubungan badan dengan lawan jenis di usia 15 sampai 17 tahun. Hanya 2,2 persen yang melakukan di atas usia 17 tahun.

Studi di 17 SMU dan sederajat di kota Ternate ini hanya menegaskan dengan jelas gambaran wajah kota Ternate kini, dalam bentuk yang paling kelam. Bukan rahasia lagi, perilaku seks menyimpang ini telah melahirkan generasi pelajar sekolah menengah yang disebut dengan toteba, yang memandang, berhubungan seks tak lebih dari proses jual beli. Bukan lagi sekadar just for fun.

Budaya Ternate sendiri, yang cenderung terbuka (inklusif) memberi peluang bagi masuknya budaya asing, baik yang positif maupun negative. Penetrasi budaya ini sudah terjadi sejak jaman Portugis, lalu Belanda, dan akhirnya sekarang, membentuk karakter masyarakat yang cenderung bisa menerima akulturasi budaya.

Bagusnya, di masa lalu, Islam selalu menjadi filter, yang dibahasakan sebagai “Adat matoto agama Rasulullah”. Dengan demikian, pemegang otoritas hukum kesultanan Ternate masih dapat menindak mereka yang dianggap melanggar adat, dengan hukum kesultanan yang tegas.

Seiring berjalannya waktu, kemerdekaan Indonesia memberi ruang bagi tumbuhnya daerah-daerah bisnis baru. Ternate, sebagai Bandar bisnis tradinional, terus tumbuh menjadi daerah pelabuhan baru. Pembenahan oleh pemerintah terus dilakukan.

Nah, sebagai kota Bandar, mau tidak mau Ternate harus menerima kenyataan, tumbuhnya pelacuran terselubung. Awalnya, hanya untuk melayani para pelaut yang kebetulan menyinggahi pelabuhan Ternate, kemudian berlanjut masyarakat lokal juga mulai menjadi konsumen para pekerja seks ini.

Dari sini, pelacuran kemudian membentuk komunitas tersendiri yang cenderung ekslusif, dan mulai dikendalikan oleh tangan-tangan tak terlihat. Komunitas ini yang lalu menjadi bisnis yang dikelola secara professional, mulai dari memasok pelacur dari Sulawesi dan Jawa, hingga mendistribusikan ke diskotik-diskotik, karaoke room, dan hotel.

Pada tahun 1990-an, majalah Fakta menulis tentang Bastiong, sebuah kelurahan di daerah pelabuhan di Ternate. Judul tulisannya menyengat banyak pihak, “Bastiong, Kampung Penuh Dosa.” Deskripsi tentang perilaku penjaja seks di sepanjang tepian jalan dekat pelabuhan sungguh memiriskan hati, sekaligus menyentak kesadaran banyak petinggi politik maupun agamawan di Ternate.

Berita itu sempat membuat petinggi pemerintah Kabupaten Maluku Utara (saat itu Maluku Utara belum provinsi sendiri, masih gabung dengan Maluku) meradang. Penertiban pelaku seks jalanan berlangsung di bawah kendali Bupati Kolonel Abdullah Assagaf (sekarang Brigjen purnawirawan).

Sempat berhenti beberapa saat, namun karena para cukongnya tak terjerat, maka kemudian diam-diam muncul lagi. Diskotik juga mulai jadi tempat mejeng baru bagi para PSK yang diambil dari wilayah Sulawesi Utara dan Jawa/Sunda.

Keadaan ini terus berjalan hingga saat konflik horizontal di Maluku Utara, 1999 – 2000 silam. Di saat laskar Jihad sibuk mengurus orang untuk menegakkan syariat Islam, di jantung kota, para pelacur juga sibuk melayani para pelanggannya. Saat itu, saya bekerja di Mingguan Ternate Pos. Saya pernah ditugasi pemred saya, Rahman Lahabato, menulis tentang pelacuran yang kian merajalela. Saat yang sama, bos saya di Jakarta, Sri Raharti Adiningrum, Kordinator Daerah Majalah Forum Keadilan, meminta saya menulis tentang janda-janda korban konflik.

Bersama Alwi Attamimi, kami berdua menelusuri jejak-jejak pelaku PSK. Penelusuran kami akhirnya sampai ke pertigaan di depan Gereja Ayam Ternate. Di samping gereja yang waktu itu masih hancur karena konflik komunal, kami menemukan yang kami cari: kafe kecil, yang di bagian belakangnya ada bilik-bilik kecil untuk para pekerja seks ini.

Kami tak berani wawancara, karena saat itu situasi masih mencekam, ada beberapa prajurit TNI BKO yang hilir mudik dan bercanda dengan “ayam-ayam” kampong ini, maklum Presiden Gus Dur baru baru memberlakukan status Keadaan Darurat Sipil di Maluku dan Maluku Utara.

Tapi, melongok kamar-kamar sederhana di kamar-kamar kafe yang bernama pondok Kelapa itu, kita terhenyak. Di pintu kamar ada stiker bertuliskan, “ketuk dan ucapkan, Assalamualaikum. Tulisan Assalamualaikum dalam aksara Arab. Di kamar sebelahnya, begitu saya dengan kawan Alwi melongok ke dalam, di samping seorang gadis yang lagi duduk, terlihat salib kecil di samping meja rias kecil.

Padahal tak jauh dari situ, anggota laskar Ahlussunnah Wal Jamaah, semacam provost-nya Laskar Jihad, terlihat menggeledah kafe dan rumah yang diduga menampung perempuan pekerja malam. Sekali waktu, saya sempat menyaksikan mereka menggerebek rumah yang di dalamnya ada empat orang, satu diantaranya perempuan, lagi asyik bermain judi. Pelakunya digelandang ke depan mesjid Al-Fajry, yang menjadi basis pasukan Jihad lokal.

Peristiwa yang delapan tahun berlalu itu telah menjadi sejarah. Tapi perilaku penjaja seks tetap tak berubah. Bahkan makin canggih dan jumlahnya makin meningkat seiring tumbuhnya bisnis hiburan malam, macam karaoke dan diskotik yang bertameng kafe & Restoran.

Inilah fakta, kota Madani yang diidamkan warganya, tercemar nista dan AIDS. Kota yang oleh Jubair Situmorang, dari STAIN Ternate, diistilahkan sebagai mengalami kejutan akibat lompatan budaya yang terlalu radikal, yang tak mampu direduksi warganya. Menurutnya, ini fenomena yang harus ditangkap dengan serius oleh warganya, utamanya oleh pemerintah dan tokoh masyarakatnya. Agar identitas religious kota Madani tak serta merta tercerabut begitu saja.

Drs. Mudaffar Syah, sultan Ternate mengaku, pergeseran budaya memang sudah jadi fenomena nasional. Tapi menurutnya, jika perencanaan tentang pembinaan masyarakat tidak memiliki konsep yang jelas, maka lebih kacau lagi. “Masyarakat kita, utamanya anak muda, akan jadi korban,” jelas politisi PDK yang kini duduk di kursi DPR RI ini.

Ternate, 13 Agustus 2008

Moral dan Kekuasaan


PERJALANANpartai-partai politik di Indonesia mengalami pasang surut yang luar biasa dalam beberapa tahun ini. Selain kepedulian terhadap konstituen (baca: masyarakat), juga partai politik ternyata lebih menyisakan kecenderungan untuk memperjuangkan kepentingannya. Alih-alih, partai politik senang “bertarung” dalam tataran wacana kekuasaan, dan jarang memasuki wilayah yang selama ini menjadi kebutuhan masyarakat.

Bagaimana dengan partai-partai Islam? Bisa dikatakan setali tiga uang, berbagai performance politik yang ditampilkan, termasuk komunikasi politik masih berada dalam “perebutan” hegemoni untuk mendulang simpati masyarakat. Kita cenderung menafikan gebrakan partai politik Islam yang santun bersuara dan bergerak pada tataran terbawah untuk melakukan pendampingan terhadap berbagai penderitaan yang dialami masyarakat.

Kecenderungan lain yang muncul adalah tampilnya konflik secara internal yang tidak mampu ditata-kelola para politisi secara lebih berenergi bagi keberlangsungan program-program partai. Partai hanya dikenal masyarakat ketika geriap pesta politik digelar. Setelah itu, partai seperti kehilangan nuansa, sunyi dan seolah-olah mati suri. Program-program yang diancangkan dalam berbagai rapat kerja atau pun juga “fatwa” kandidat yang hendak memimpin satu partai politik terkadang tak mampu terlihat nyata ketika partai itu berkibar.

Pada konteks ini, peran partai politik –termasuk berlabel Islam—sudah semestinya dikelola lebih pada konteks sosial, artinya, partai sudah waktunya digeser untuk tidak lagi melihat kepentingan masyarakat dalam skope yang lebih sempit, hanya berdasarkan ideologi yang ada. Karena sekali lagi, partai hanyalah sebagai alat agregasi dan penyalur aspirasi masyarakat untuk tujuan politik mereka yang lebih mulia, yakni bagaimana mereka dapat menggenggam harapan-harapan, bukan menggenggam mimpi-mimpi. Yang terjadi, adalah partai justru menjadi alat kepentingan elit untuk meraih harapan-harapan sesaat melalui kekuasaan. Di sini yang harus diantisipasi adalah bermainnya kelompok oligarkhi dalam partai politik Islam, ketika kepentingannya tidak terwujud, dan masyarakat menjadi legitimator untuk “merestui” kepentingannya. Bila konteks ini terjadi, apa bedanya partai politik Islam dengan lintah darat?

Menurunnya kecenderungan terhadap partai-partai politik, termasuk partai politik Islam, sudah harus ditafsir bahwa partai-partai politik mengalami dilema paling akut, yakni mulai menipisnya kepercayaan politik masyarakat। Untuk itu, gaya dan metode yang selama ini selalu diagungkan partai politik Islam harus dirubah, harus ada shifting paradigm (pergeseran paradigma), bahwa partai politik Islam, semata-mata untuk kemaslahatan ummat dan masyarakat, bukan untuk kepentingan elit. Dalam konteks ini, maka, kehadiran partai politik Islam harus terus dikawal, ditata-kelola dan diperbaiki, sehingga dapat menjadi alat politik paling efektif untuk memperjuangkan kepentingan ummat dan masyarakat. (Rusli Djalil)

opini majalah Genta

Selasa, 29 Juli 2008

Morotai













Morotai tak sekadar sebuah nama di peta. Morotai adalah symbol perlawanan Jenderal Douglass McArthur melawan Jepang, di masa perang dunia II. Morotai juga menandai titik balik gerak cepat Laksamana Besar Jepang, Yamamoto. Pulau di ujung utara pulau Halmahera ini menandai antiklimaks Perang Pasifik yang menguras darah dan air mata ratusan juta rakyat di sepanjang pesisir Samudera Pasifik.
Morotai juga adalah titik simpul yang jadi target para Jenderal Amerika saat itu, baik Jenderal McArthur maupun Admiral Nimitz, Panglima AL Amerika Serikat untuk Pasifik, yang memegang kendali komando atas seluruh kekuatan tempur AL Amerika di Pasifik.
Pulau ini strategis, karena berada di bibir pasifik, dan mampu menjangkau Philipina, Papua, Kalimantan, Laut Cina Selatan, Australia, bahkan Jepang. Di sini dahulu, McArthur menempatkan ratusan ribu tentaranya, dan ratusan pesawat tempurnya, dalam operasi merebut dan menguasai Philipina (untuk memenuhi janjinya saat hengkang dari Bataan tahun 1942: I shall return), dan Jepang.
Dengan strategi leapfrogging yang terkenal itu, akhirnya ia memenangi peperangan di Pasifik. Sebuah peperangan yang brutal, dan penuh darah. Catatan tentang peperangan ini dapat dibaca dalam buku “Perang Pasifik,” oleh PK Ojong. Kisah tentang perang Pasifik juga dapat didengar dalam cerita para orang tua yang dulu pernah menjadi tentara Gerilya di Maluku Utara, sekaligus spion tentara Sekutu.
Soekarno, dalam merebut kembali Papua Barat awal tahun 1960-an, juga menjadikan Morotai sebagai ujung tombak dalam perang udara. Dari sini, pesawat-pesawat MIG Indonesia terbang dan menyerang target-target di Papua. Memang, Makassar dan Seram kelihatan lebih menonjol dalam Operasi yang diberi nama sandi Mandala ini, tetapi peran Morotai sebagai ujung tombak operasi udara, tetap yang paling penting.
Pada abad 21 ini, setelah Indonesia merdeka, Morotai mulai terlupakan. Pada tahun 2003, awal-awal periode saya dan kawan-kawan membangun Mingguan Aspirasi, Agus SB, salah seorang redaktur senior di Media ini, pulang ke kampong halaman istrinya, di Morotai. Saya saat itu meminta Rahman Samiun, pemimpin redaksi Aspirasi, agar memberi “tugas” tambahan ke Agus yang lagi berlibur itu.
Hasilnya, sepulangnya dari Morotai, antropolog dari Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate ini membawa satu laporan lengkap tentang Morotai. Dia menggambarkan, di tahun 1940-an, ketika Ternate, bahkan mungkin Jakarta, listrik dan tekhnologi modern adalah sesuatu yang mustahil, di Morotai, semua itu ada. Dia juga menguak tentang pulau Sum-sum, pulau yang sempat disinggahi dan dijadikan tempat berlindung, saat lari dari Bataan menuju Australia.
Pada tahun yang sama, Pemerintah Maluku Utara sedang getol menjual ide, Morotai jadi daerah otorita. Sesuatu yang banyak ditentang kalangan aktivis, karena dengan menjadikan Morotai otorita, maka kekuasaan dan kendalinya ada di Jakarta. Tak akan ada otonomi di sana. Akhirnyanya, ide ini tenggelam bersama pemekaran kabupaten dan kota di Maluku Utara.
Kini, orang hanya mengenal Morotai dari hasil kerajinan besi putih. Ya kalungnya, gelang, dan beragam hasil kerajinan lainnya. Dan, kebetulan saja, Mayjen (purn) Irvan Edison adalah putra kelahiran Morotai, maka ia sedikit dikenal. Tak ada yang menyinggung lagi tentang perannya di masa silam. Jangankan mengenang Morotai sebagai salah satu kerajaan kecil di utara Maluku Utara, seperti ditulis Adnan Amal SH, dalam buku Sejarah Maluku Utara, bahkan waktu yang demikian pendek, ternyata Morotai mulai dilupakan.
Morotai hari ini, hanya sebuah pulau di bibir Pasifik, yang saban tahun orang pergi ke sana, berburu kalung besi putih, atau mencari reruntuhan pesawat tempur, dan mobil jeep militer (jip willis) peninggalan Perang Dunia II yang termashur itu. Dan juga gadis-gadisnya yang cantik-cantik.

Senin, 21 Juli 2008

Banau

Suatu hari saya membaca Malut Pos. Di situ ditulis, beberapa sineas Jakarta mau membuat film tentang Banau. Artikel itu menyebutkan, Banau yang berjuang dan mati pada tahun 1517, hendak difilmkan oleh salah satu production house yang dimikili putra-putra actor ternama Indonesia di era 1970-an, Almarhum WD. Mohtar. Saya terkejut, tahun 1517? Tak salah? Apa catatan tentang Jailolo dan Banau, pahlawan Halmahera di paru awal abad 20 sedemikian miskinnya, hingga untuk menentukan tahunnya, para sineas ini kesulitan menentukan tahunnya.
Memang, film bukanlah sebuah catatan sejarah. Tapi setidaknya, cerita itu diharapkan tidak bergeser jauh dari kisah yang sebenarnya. Karena dari sana, orang dapat membayangkan, seperti apa cita-cita pemberontakan Banau.
Usai membaca laporan Malut Pos, saya menelepon salah satu redakturnya. Kepada kawan redaktur itu saya sampaikan protes itu. Esoknya, dalam berita lanjutan soal Banau, protes saya ditulis kembali, dan saya “didaulat” Malut Pos sebagai budayawan muda. Ahaa. Mendengar kata budayawan, saya teringat akan kawan baik saya yang bernama Marwan Hamzah.
Ketua Pemuda Demokrat Maluku Utara ini dikenal koleganya sebagai salah satu budayawan local. Seminggu lalu dia mengirim pesan pendek ke telepon seluler saya. Isinya, “Banau pe cucu, telepon balik. Saya so rindu ngoni pe suara.”
Hanya kawan dekat yang biasa bercanda secara berlebihan. Dan dia salah satu kawanku, yang, meski di tengah ketegangan politik, masih sering halo-haloan.
Dia mengabarkan tentang posisi barunya di jajaran Partai Demokrat Maluku Utara. Ia bertanya tentang banyak hal. Di antaranya, bagaimana bacaan saya terhadap kondisi geopolitik local di Ternate, karena dia maju sebagai salah satu kandidat yang akan bertarung dalam pemilu 2009.
Selain dia, di “sekoci” Partai Demokrat ada juga kolega saya, Rahmi Husen, yang akrab disapa Junaidi. Mantan ketua KPU Maluku Utara ini ternyata didorong Partai Demokrat dari Daerah Pemilihan Halmahera Selatan.
Terlepas dari informasi soal para politisi muda di Maluku Utara, saya kembali teringat akan nasib pahlawan dari Jailolo ini. Dia dikenal sebagai pemberontak dari teluk Jailolo. Dari Tuada dan Todowongi, menyebar ke Porniti, dan wilayah Jailolo lainnya.
Tapi Jailolo adalah daerah yang hampir dilupakan dari sejarah lokal. Dari sebuah Negara besar di seluruh daratan Halmahera, ia menciut menjadi sebuah kampung kecil di pesisir barat pulau Halmahera. Sejak Katarabumi meninggalkan jejak kejayaan yang kemudian dibungkam nafsu serakah antar anak negeri sendiri, daerah ini hanya mendapat keistimewaan, menjadi satu distrik di masa akhir kolonial.
Hari ini orang lebih mengenal burung bidadari (semiopthera wallacii, sp) salah satu burung endemic Halmahera yang ditemukan pertama kalinya dalam sejarah ilmu pengetahuan oleh Alfred Wallace, ahli Botani dari Inggris.
Padahal, membayangkan Banau, ibarat membandingkannya dengan Leonidas, pahlawan perang Sparta dalam cerita Yunani Kuno. Bagaimana Banau, dengan karibnya, Puaen, bahu-membahu dengan pasukannya yang jauh lebih kecil dari pasukan Belanda dan armada perang Ternate. Tapi kisah tentang Banau adalah kisah tentang kepahlawanan orang-orang Halmahera.
Di Porniti, satu dusun kecil di distrik Jailolo, mereka menyongsong balatentara yang kuat, bagai Leonidas di Thermopelatea, sebuah cela sempit menuju tanah Yunani. Leonidas, dan kemudian juga Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW di Padang Karbala, adalah martir yang kukuh pada pendirian, hingga titik darah terakhir. Seperti juga Banau di Jailolo.
Cerita tentang Banau dan Jailolo, adalah kisah pilu orang-orang kecil yang menuntut hak mereka, kemerdekaan dari membayar pajak yang berat (blasting), dan hidup sebagai manusia merdeka. Merdeka dalam arti menjadi manusia utuh, bukan budak atau setengah budak.
Tapi hari ini, kita hanya mengenal Banau tak lebih dari nama sebuah battalion tempur TNI AD yang bermarkas di Jailolo, sebuah battalion dengan nomor pengenal Yonif 732. Sebuah ironi yang pahit. Untungnya para petinggi TNI masih berbaik hati menamakan battalion tentara organic Maluku Utara dengan nama “Leonidas” dari Tuada ini.
Padahal di masa lalu, Jailolo (Gilolo), adalah penamaan terhadap pulau Halmahera, karena seluruh daratan pulau itu dikuasai oleh Katarabumi, raja Jailolo yang paling kuat. Dia disingkirkan dalam sebuah persekongkolan halus, dan anak cucunya digusur dari bumi Jailolo, setelah pralaya kedaton Tagalaya.
Jailolo, 20 Juli 2008

Rabu, 16 Juli 2008

Pasukan Keluarga





















Catatan tentang Republik Wonge


Setelah empat bulan hidup di Jakarta, saya menjadi sadar, negeri ini sedang sakit. Penyelenggaranya, dan rakyatnya, ternyata sudah sama-sama sakit. Ini negeri, adalah wujud dari sebuah republik Wonge. Kata Wonge ini---awalnya dipopulerkan senior saya di HMI, Saiful Bahri Ruray, mantan sekjen HMI yang kini wakil ketua DPRD Maluku Utara---secara etimologi, bermakna kata benda. Ia adalah penamaan terhadap sebangsa jin atau genderuwo, atau dedemit, menurut bahasa Ternate. Buku yang diberi Judul “Balada Republik Wonge,” itu menyindir ke semua arah.
Syaiful menulis puisi-puisinya yang berisi sindiran sinis terhadap perilaku elit politik dan birokrat di Maluku Utara. Tapi, puisi itu universal. Maknanya kemudian saya temukan, ketika di Jakarta. Saya masih agak naïf begitu datang ke ibukota. Berpikir bahwa mereka yang pernah menjadi aktivis, aktivis, para ilmuan, adalah orang yang masih menghargai nurani, dan bekerja dalam bingkai moral dan etika.
Saya terkejut, karena yang saya temukan adalah rimba raya “kejahatan” yang paling banal. Di sini, semua orang bicara, muara semua persoalan adalah uang. Jadi, jangan heran, di negeri ini, orang pelit, tak punya uang dan koneksi kuat, meskipun jujur dan punya kemampuan manajerial, tidak bakalan menjadi pemimpin. Secara tak sadar, feodalisme dimunculkan kembali, dalam bentuk yang berbeda. Dulu ukuran feudal adalah darah biru atau tidak, sekarang, anda bisa menjadi pangeran cukup dengan menunjukkan angka kekayaan yang dimiliki. Ironis memang.
Karib saya di majalah GENTA terbitan Ternate, Sofyan Daud, dalam satu diskusi lepas pada Rabu malam (2/7-08) menyebut, mentalitas inlander dan ambtenaar seperti ini yang mendorong terjadinya penghancuran moralitas pejuang dalam diri tiap orang. Ada benarnya juga, menilik fakta yang terjadi di negeri ini, selama bertahun-tahun.
Sau contoh yang paling telanjang, adalah dana DCU yang diambil dari dana Inpres Khusus nomor 6/2003. Dana yang digelontor sejak Megawati masih berkuasa, sampai SBY hampir menyelesaikan tugas lima tahunan sebagai Presiden RI, jumlahnya cukup lumayan. Rp. 1,7 trilyun. “Itu dana jumlahnya seribu tujuh ratus milyar, dan dalam pertanggung jawaban dijelaskan realisasinya seratus persen,” ujar Sofyan.
Herannya, dana yang peruntukannya untuk penanganan pasca konflik, alokasinya lari entah kemana. Proyek yang puluhan milyar itu, tak pernah kelihatan di lapangan. Dan para pengungsi masih tinggal di barak kumuh di gudang Bimoli. Serta untuk mempertahankan hidup, mereka jualan minuman keras illegal.
Lalu, nilai apa yang harus diperjuangkan di negeri yang modelnya sudah seperti ini? Pertanyaan itu terus mengikuti langkah saya, usai diskusi di kelurahan Toboko-Ternate. Tak sengaja hari ini saya membaca sebuah majalah tempo edisi lama. Ada artikel tentang tari cakalele berbendera RMS di hadapan presiden SBY, di Ambon, tahun lalu. Membaca sepintas saya langsung merenung, kenapa gerakan ‘proklamasi 25 April 1950’ masih terus berkibar? Kenapa Papua masih mengibarkan bintang kejora? Adakah ini semua semata-mata akumulasi dari kekecewaan daerah terhadap pembagian kue yang tidak seimbang. Ataukah ada hal lain yang lebih besar, krisis identitas karena merasa sebagai anak jajahan? Pertanyaan itu terus mengikuti.
Saya teringat akan paman saya, yang pernah menjadi pemimpin pemberontakan Permesta di rimba Halmahera. Ia, seorang pejuang yang menanggalkan baju hijaunya begitu kemerdekaan tercapai, yang sangat memuja Bung Karno, memilih memanggul senjata lagi, bersama-sama bekas anak buahnya di masa perang kemerdekaan, demi mempertahankan prinsipnya: Negara harus memberi kesejahteraan kepada seluruh rakyatnya, di seluruh penjuru tanah air. Penganut welfare state yang setia.
Pesannya kepada kami anak cucunya adalah, berbuat sesuatu untuk kepentingan orang banyak itu jangan pernah berharap pamrih. Ia, Jalil Binongko, yang berjuang untuk Maluku Utara lewat gerakan bersenjata di era 1940-an akhir hingga 1950, adalah sejawatnya Arnold Mononutu. Tapi, usai itu ia memilih bergerak di dunia politik dan gerakan koperasi. Tak pernah ada jabatan politik yang disandangnya. Dan ia cukup menikmati itu. Tujuan berpolitiknya adalah, memberikan pencerdasan kepada warganya tentang hak-hak politik mereka sebagai warga Negara.
Tapi hari ini, di ibukota negeri ini, saya terpaksa membalik semua logika saya tentang hakekat menjadi warga Negara ini. Hanya orang yang punya mental perampok yang bisa menembus jejaring kekuasaan. Di sini juga saya temukan, seorang idealis hanya hidup di mimpi-mimpi. Kita bisa survive di negeri ini kalau bersikap realis dan menerima kenyataan pahit di hidup kita. Sebagai anak daerah, ternyata, saya tak lebih dari anak jajahan. Maka wajar jika negeri ini dijuluki Republik Wonge, atau Republik Gendruwo.
Di bandara Manado, tak sengaja saya ketemu lagi dengan Saiful. Ko Ipul, begitu saya menyapanya. Dalam diskusi ringan menjelang naik ke pesawat, ia bercerita banyak hal. Mulai dari Pilkada yang sulit diprediksi hasilnya, sampai ke kekuasaan di negeri ini, yang katanya, ada di tangan penguasa yang tak kelihatan. Semacam Genderuwo atau apalah. Belum tuntas diskusi tanpa judul kami, terdengar pemberitahuan bahwa pesawat Wings Air jurusan Manado - Ternate mau berangkat. Penumpang diminta naik ke pesawat. Selesailah sudah diskusi tanpa judul ini.
Manado, Juli 2008

Rabu, 02 April 2008

Pendidikan di Maluku Utara

ANTARA ANGKA DAN FAKTA

Pendidikan adalah proses pembebasan diri dari kebodohan dan kunci menuju perubahan. Di Maluku Utara pendidikan justru dikelola asal jadi.

Sekolah yang awalnya enam lokal itu, kini tinggal tiga kelas yang bisa dipakai. Itupun kalau hujan siswanya harus istirahat belajar. Harap maklum, atapnya sudah 80 persen bocor. SD di Desa Toliwang, nun di pedalaman Kao, Halmahera Utara ini, sudah dibantu dengan dana Inpres sekitar 30 tahun lalu. Sejak saat itu kondisi bangunan ini nyaris tak tersentuh bantuan. Dinding bangunan yang hanya dari Asbes, kini sebagian besar sudah keropos.
Kisah di atas baru awal cerita tentang kondisi fisik bangunan sekolah di Maluku Utara. Sampai awal tahun 2005 di kota Tidore Kepulauan, masih ada sekolah dengan kondisi mirip kandang ayam, dindingnya dari papan dan lantainya tanah. Baru pada TA 2005-2006 lalu, dibangun unit sekolah baru oleh Pemda Tikep. Lokasi sekolah itu hanya di pesisir Oba yang dapat dijangkau dalam waktu 1 atau 2 jam transportasi laut dari Tidore atau Ternate.
Keluhan soal terbatasnya sarana gedung, tak hanya datang dari pelosok terpencil. SD Mononutu yang terletak di jantung kota Ternate---ibukota provinsi sekarang---dalam lokasi yang sama sekaligus terdapat 4 Sekolah Dasar: SD Mononutu 1 dan 2 serta SD Kenari Tinggi 2 dan 4. “Kita ini sekolah di dalam kota, namun masih pararel, double shitf. Ini yang saya pikir bahwa kita berteriak mau maju namun sekolah masih tetap double shitf, ya sulit,” Keluh sang Kepala Sekolah.
Ini adalah ironi pembangunan pendidikan Indonesia. Padahal, seperti kata Ade Tais A.Ma. Kepala Sekolah SD Manunutu 1 Ternate, lembaga pendidikan memproduk generasi masa depan. ”Saya pernah minta kepada pemerintah, kalau boleh sekolah ini ditambah ruang belajarnya, karena memang muridnya cukup padat, minatnya cukup banyak, tetapi terbatasnya masalah gedung, fisiknya. Padahal, bangun gedung mewah yang hebat-hebat saja bisa,” ujarnya getir.
Ade patut prihatin. Karena Negara ini memiliki konstitusi yang mengharusnya prioritas pembangunan pendidikan. Negara memprioitaskan sekurang-kurangnya 20 persen dari APBN serta APBD untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional. Itu pesan pasal 31 ayat 4 UUD ’45.
Lalu apakah ini semua karena target 20 persen anggaran pembangunan diarahkan ke pendidikan tidak tercapai? Alumnus D2 STAIN Ternate ini sepakat jika anggaran pendidikan dinaikkan, banyak problem pendidikan seperti sarana penunjang pendidikan, dan kesejahteraan guru, dapat terpecahkan.
Di Maluku Utara, soal dana sepertinya tak jadi soal. Karena, anggaran yang masuk tahun 2007 ini jumlahnya lumayan: trilyunan rupiah. Tapi berapa yang kemudian dialokasikan ke sektor pendidikan? Said Hasan MPd, Kadis Pendidikan dan Pengajaran Provinsi Maluku Utara mengaku, alokasinya sebesar Rp. 11 milyar. Masih jauh dari ideal.
Ini masih jadi masalah. Jangankan SD Toliwang di pedalaman Halmahera yang hampir roboh dimakan waktu. Di Ternate yang ibukota provinsi saja, satu bangunan dipakai hingga empat sekolah. Padahal idealnya, ujar Bapak enam anak ini, satu gedung sekolah hanya boleh dipakai satu sekolah. Tidak boleh dipakai lebih dari satu sekolah, atau dalam bahasa Ade, tidak boleh double shift.
Langkah dan upaya pemerintah guna perbaikan sektor pendidikan bukan tak ada. Kebijakan Pemprov Maluku Utara sebagaimana dituangkan dalam Pola Dasar Pembangunan 2002-2007 (RPJMD-red), mencanangkan antara lain ─Memperluas daya tampung SD, sekolah menengah dan pendidikan prasekolah yang lebih terjangkau dan berkualitas. Pembangunan sarana prasarana yang merata di seluruh Kabupaten/Kota. Peningkatan kualitas pendidikan, pemberian beasiswa bagi siswa berprestasi dan keluarga kurang mampu. Peningkatan kualitas, profesionalitas, kesejahteraan, citra, wibawa, harkat dan martabat guru. Kurikulum berbasis muatan lokal, membina manajemen pendidikan, pengawasan dan akuntabilitas.
Arah kebijakan ini dimaksudkan untuk menjawab kondisi obyektif pendidikan Maluku Utara tahun 2002 silam, dengan jumlah SD 1.141, jumlah siswa 147.841dan jumlah guru 5.140. SLTP 189 unit, siswanya 46.208 dengan jumlah guru 3.499, dan SMU/SMK 71 unit, 24.771 siswa serta 1.152 guru. Disamping juga penyebaran tenaga pengajar pendidikan dasar yang belum merata pada wilayah kecamatan dan desa, melainkan terpusat pada ibukota kabupaten, daya tampung SMU/SMK dan sederajat terhadap lulusan SLTP, serta permasalahan kuantitas dan kualitas pendidikan secara umum. Kenapa daftar panjang ini perlu diangkat? Karena kini, kita tengah berada di tahun 2007, mendekati garis finish dari program yang dicanangkan 5 tahun lalu. Seberapa besar capaian dari program yang telah dicanangkan?
Hasan punya argmentasi sehubungan dengan rencana kerjanya. “Sekarang itu masih perluasan akses di samping kita ikuti dengan peningkatan mutu. Mengapa perluasan akses, karena infrastruktur kita belum memenuhi standar ideal,” jelasnya.
Perlu perhatian serius adalah angka yang ada dalam pendahuluan RKPD Pemprov. Maluku Utara 2006 berubah signifikan. Jumlah Sekolah mengalami pertambahan, tetapi terjadi penyusutan jumlah guru. SD 1.179 unit, SLTP/MTs. 253 unit, SMU/MA 215 unit, PT 8 unit. Sementara jumlah guru SD yang dibutuhkan 10.169 yang tersedia 669 orang, SLTP/MTs membutuhkan 1.319 orang guru dan yang tersedia baru 729 orang, tingkat SMK membutuhkan 568 orang yang tersedia baru 148 orang.
Itu perencanaan dari Pemprov untuk menjawab masalah pendidikan Maluku Utara, dengan mengacu pada data yang ada. Tapi mari kita lihat statistik BPS. Maluku Utara dalam Angka 2005-2006 mencatat, pada tahun 2005 jumlah SD se provinsi sebanyak 1.148 sekolah. Guru yang melayani sebanyak 7.364 orang. Jumlah itu tersebar di berbagai pelosok, dan mendidik murid-murid SD yang 212,323 jiwa. Jika dibagi secara merata, setiap sekolah kebagian 6 guru.
Kenapa datanya harus berbeda, dan selisih angkanya begitu besar? Kalau menggunakan data RKPD Pemprov, jumlah SD tidak sebanding dengan jumlah guru. Karena SD sebanyak 1.179 unit harus dilayani hanya dengan 669 guru. Logikanya, jika seorang guru tidak mengajar dua sekolah maka ada 510 unit sekolah yang kosong tanpa guru. Dengan sendirinya, pembangunan sekolah baru belum layak dilaksanakan saat ini. Namun, hingga saat ini belum ada laporan, sekolah dalam jumlah besar yang tak ada gurunya. Bahkan SD Toliwang yang begitu memprihatinkan, ternyata masih ada gurunya.
Ajaibnya, ada sekolah di dalam kota yang gurunya berlebih, tapi ada juga sekolah di pelosok yang hanya diasuh satu orang guru. Lalu data mana yang harus dipakai? Apakah database pendidikan yang begini kacau yang layak untuk dijadikan referensi dalam menyusun RKPD provinsi? Pertanyaan ini patut diajukan, karena data BPS tahun 2006 melaporkan, dari 907.130 penduduk Maluku Utara, masih ada 44 ribu yang buta huruf. Yang tak memiliki ijazah sama sekali jumlahnya 29,10 persen dari total jumlah penduduk Maluku Utara.
Dengan manajemen yang begitu sengkarut, kapan kita bebas buta huruf? Harap maklum, dengan manajemen seperti ini, seperti dikeluhkan Ade Tais, sulit untuk meningkatkan mutu pendidikan. Jika perencanaan pendidikan seluruhnya tetap sekacau ini, jangan harap generasi penerus Maluku Utara menerima pendidikan yang layak. Lalu dari mana harus membenahinya?
Said Hasan punya jawaban, masalah data base yang utama saat ini karena Dinas-Dinas di tingkat Kabupaten Kota tidak memasukkan laporan data mereka ke dinas provinsi. Ini problemnya. Untuk pemecahannya, pihaknya sudah merencanakan rembuk pendidikan se provinsi Maluku Utara. Maksud dari acara ini adalah untuk menyamakan data pendidikan se provinsi. Jika tidak dilakukan, sulit mendapat angka yang pasti dalam data base pendidikan di Maluku Utara.
Selain itu, tenaga pendidik yang beralih ke birokrasi menjadi tenaga struktral, baik di dalam maupun di luar instansi pendidikan sementara mereka asih terdaftar sebagai tenaga pendidik, juga salah satu yang diakuinya turut mengacaukan data jumlah pendidik. “Alih fungsi jabatan struktural itu sah-sah saja. Tapi yang dikuatirkan adalah pengalihan fungsi itu tidak berdasarkan analisis yang matang. Di bidang strategis, tidak harus menggunakan orang yang bukan ahli pendidikan. Pada saat di perhadapkan dengan program, misalnya UNDP, kan tidak nyambung karena bukan ahlinya,” ujarnya lagi. Rumitnya lagi, lanjutnya, budaya masyarakat Maluku Utara ternyata belum taat azas.
Gufran A. Ibrahim, Pembantu Rektor III Universitas Khairun Ternate punya jawaban penting soal kendala utama dunia pendidikan Maluku Utara. Masalah mendasar pendidikan di Maluku Utara adalah bagaimana menyiapkan blue print-nya. “Blue Print itu merupakan kerangka dasar perencanaan pendidikan Maluku Utara. Nah, blue print itu juga tidak jatuh dari langit tapi disiapkan melalui suatu survey pemetaan masalah-masalah pendidikan Maluku Utara. Dari hasil survey itulah kemudian dibuatkan blue print-nya atau dalam bahasa lain, adalah kerangka dasar sebuah perencanaan dan pengembangan pendidikan di Maluku Utara,” ujarnya.
Pemprov punya Rencana RPJMD (rencana 5 tahunan-red), kemudian di derivasikan kedalam RKPD (rencana tahunan-red), melalui Renja dan Rentara SKPD masing-masing instansi. Menurutnya, ini juga dibaca sebagai blue print, tetapi ada satu soal yang diakui oleh hampir seluruh instansi — data base mengenai masalah terkait dengan masing-masing instansi, juga diragukan kesahihannya. “Di kalangan pendidikan pun demikian, jangankan orang luar, dari dalam sendiri juga tidak begitu haqqul yakin mengenai kesahihan data itu, “ jelasnya.
Makanya ia menganjurkan sebuah survey secara komprehensif. “Mengapa survey perlu dilakukan, karena memang data base mengenai masalah-masalah pendidikan itu juga tidak valid menurut pengakuan mereka, tegasnya.
Jadi, itu kata kuncinya, harus mulai dari survay pemetaan masalah-masalah pendidikan lalu lahirkan blue print, dan itu dapat dibaca sebagai Renstra Dinas pendidikan 5, 10 atau 15 tahun kedepan, hingga berganti siapapun kepala dinasnya, itu kerangkanya. “Saya sudah pernah komunikasikan dengan teman-teman, termasuk juga kepala dinasnya (Kadis Dikjar Prov. Maluku Utara-red), waktu dia diminta ke sana (sebagai kadis-red), saya saran kepada untuk melakukan hal-hal yang saya sebutkan tadi, tapi itu kemudian tidak terjadi, karena terjebak dengan persoalan blockgrant, itu salah satu penyebabnya. Terjebak dalam pengertian hanya melihat kesitu, padahal harus memulai dengan survay tadi. Saya yakin survey dimaksud akan menjadi mula dari bagaimana merancang Pendidikan Maluku Utara kedepan,” jelasnya.
Mengenai alokasi dana untuk pendidikan di Maluku Utara, diaku Said belum sampai 20 persen sebagaimana amanat konstitusi. Tapi, menurutnya sudah ada perubahan ke arah yang lebih baik. “Tahun 2006 lalu kira-kira 10 persen,” jelasnya.

Problem Gonta Ganti Kurikulum

MASALAH ini ditengarai sebagai problem krusial yang belum tertangani dengan baik. Orde silih berganti dengan kebijakan yang terus diperbaharui tak banyak mengubah pelayanan maupun mutu pendidikan Indonesia. Para menteri sejak Kabinet pembangunan dibawah kendali Soeharto, hingga Kabinet persatuan dibawah komando SBY ─ yang berubah hanya aspek yang jauh dari esensi. Depdikbud berganti nama menjadi Diknas atau Dikjar.
Dan juga kurikulum serta manajemen pengelolaan pendidikan yang terus berubah seperti CBSA, Link and Match, KBK, hingga yang terkini KBSP, tidak memberi dampak berarti bagi kualitas dan mutu pendidikan kita. Konsep yang dijejali itu sulit diimplementasikan, karena terbatasnya sarana dan prasarana, kompetensi tenaga penyelenggaranya, serta dukungan dana yang terbatas.
Semua itu, menurut Said Hasan, sumbernya pada manajemen yang tidak bagus. “Mutu itu ada jika manajemen bagus. Sama dengan, proses pendidikan adalah pembiasaan. Jadi kalau torang bicara mutu pendidikan maka kita bicara efek ikutan dari sebuah proses pendidikan. Kalau sebuah infrastruktur tidak bagus maka tidak akan mungkin prosesnya bagus, dan kalau prosesnya tidak bagus, maka tentu mutunya tidak akan bagus,” terangnya panjang lebar.
Dinasnya sudah berupaya menjawab masalah itu dengan melakukan perencanaan meliputi penyiapan infrastruktur, Kurikulum berbasis muatan lokal, membina manajemen pendidikan, pengawasan dan akuntabilitas. Tapi dalam bahasa Said, pendidikan adalah tanggung jawab semua pihak. Karenanya, jangan saling menyalahkan. Ia mengajak semua pihak untuk duduk bersama dan memecahkan masalah pendidikan secara serius.

Tim GENTA
Dikutip dari GENTA EDISI II, Oktober 2007

Selasa, 01 April 2008

Siapa Terlibat Skandal Bantuan Sosial

Kejaksaan mengusut ada dugaan penyelewengan bantuan sosial pada APBD 2007 Provinsi sebesar. Siapa saja yang terlibat skandal?
SELAMA ini hubungan dua lembaga kantor gubernur dan kejaksaan tinggi yang bertetangga dekat ini cukup “akur”. Tapi tidak kali ini. Dua kantor di jalan revolusi yang hanya dipisahkan jalan, sejak Rabu, 12 Maret lalu mulai renggang dan memasuki babak perseteruan. Pemicu kerenggangan yang akhirnya berbuntut perseteruan itu, karena insiden pemukulan yang dilakukan sejumlah oknum pegawai kantor gubernur terhadap asisten pidana khusus (Aspidsus), Tatang Sutarna,ketika hendak melakukan penyitaan sejumlah dokumen di kantor gubernur. Alih-alih mendapatkan dokumen sitaan, yang diperoleh justru “bogem”mentah.
Pemukulan atas Aspidsus dan rekan-rekan timnya memang cerita baru dan (unik tentunya!) Cerita baru karena memang baru pernah terjadi. Uniknya karena baru pertama kali ada oknum (PNS) yang berani memukul aparat penegak hukum ini. Selain itu, kasus yang diungkap pun terbilang paling mutakhir; dugaan penyelewengan dana bantuan sosial tahun anggaran 2007 yang nilainya tak tangung-tanggung Rp 147 miliar.
Dugaan penyelewengan dana ini sebetulnya bermula dari stemmotivering atau pandangan akhir dari fraksi Golkar DPRD Provinsi pada saat rapat paripurna untuk pengesahan APBD 2007, sekitar Juni 2007 lalu. “Saat itu hanya Fraksi Golkar yang mengangkat soal ini dengan dua pertimbangan. Pertama, Pencairan dana di atas ratusan juta rupiah kan harus dibuatkan cek, sebagaimana ketentuan Kepres 80, itu diabaikan. Kedua, ini aneh bin ajaib, sebab ada APBD di republik ini yang pos bantuan sosialnya 14 persen dari total APBD. Menurut saya, itu sudah di luar aturan tentang penyusunan APBD,”ungkap Badarudin Gailea dari fraksi Golkar kepada GENTA via telepon.
Terlepas dari apakah ada motif politik didalamnya yang jelas, menurut Badar –begitu ia disapa-tak ada target apapun dan semata-mata mempersoalkan kinerja pemerintah pemda provinsi. “Masalah ini diangkat untuk meminta perhatian publik agar meresponi. Sebab mau ditolak juga susah, karena tolak atau setuju, APBD tetap dijalankan, makanya kami mengungkap kebenaran ini agar publik tahu persis dan bisa menilai,”ungkapnya.
Buka jalan fraksi Golkar ini kemudian di blow-up pers. Karena disebut-sebut didalamnya ada dana yang diperuntukkan untuk media center terkait pelaksanaan Pilgub. " Pihak kejaksaan menerima pengaduan ini dari pekerja pers yang mengaku tak pernah menerima bantuan. Padahal pos untuk media centernya ada,”ungkap Tatang
Setelah ditelusuri, dana media center masuk dalam pos bantuan sosial. Bukan hanya media center, kecurigaan-kecurigaan lain juga merebak. Terdapat beberapa pos bantuan yang lain seperti biaya pendidikan anak cacat senilai Rp 160 juta, tak pernah diterima, padahal uangnya sudah cair. Lalu ada bantuan untuk Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) Maluku Utara, di APBD nya tercatat Rp 7,25, tapi realisasinya hanya Rp 6 M. “Rp 1,2 nya kemana? Kitakan belum tau. Kemudian kita cek bantuan pembinaan untuk olahraga penyandang cacat, itu dalam APBD-nya Rp 1,125 miliar tapi yang diterima hanya Rp 136 jt. Dari hal-hal seperti ini kita minta kejelasan,”ungkap Tatang
Jelasnya, pihak kejaksaan kemudian meningkatkan ke tingkat penyidikan. Dan penyidikan itu menurut Tatang, adalah upaya paksa, termasuk penyitaan dokumen.
Untuk menjalankan tugas penyidik, Kajati Pada 11 Maret 2008 mengeluarkan tiga surat perintah (sprint), izin penyidikan, penggeledahan, dan penyitaan dengan masing-masing bernomor 044/s2/FD.I/03/2008, 045/S2/FD.I/03/2008 dan 046/S2/FD.I/03/2008. Selain dibekali sprint, juga dibentuk tim berjumlah 17 orang.
Mengantongi tiga sprint, pada 12 Maret tim menuju ke kantor gubernur untuk mulai melakukan penyidikan, penggeledahan dan penyitaan. “Tapi sebelum itu sekitar pukul 09.00 wit, kami terlebih dulu melapor ke plt gubernur untuk koordinasi disaksikan asisten tiga. Jadi tak benar aktivitas kami tak ada ijin,” ungkap Tatang berang. Sayangnya sebelum selesai melaksanakan tugas, Tatang dan timnya dikeroyok pegawai kantor gubernur karena dituding tak memiliki ijin. Tak hanya itu, dokumen keuangan yang dicari menurut salah seorang oknum bendahara seluruh data keuangan sudah diambil Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Insiden pemukulan jaksa pun ditengara karena terjadi miss comunication alias kesalahan komunikasi.
Terlepas apakah ada kesalahan komunikasi atau tidak, yang pasti sikap over acting pegawai yang mengeroyok tim kejaksaan menurut Ridha Ajam, koordinator konsorsium Makuwaje adalah sikap premanisme.
Pertanyaan selanjutnya kemana dana bantuan sosial itu mengalir? Karena pihak kejaksaan mencurigai peruntukan APBD di lapangan tidak sesuai. Di bagian anggaran, kata Tatang, Rahim yang memegang SKO mengatakan, semua dana sudah keluar. Apakah dana itu mengalir untuk biaya politik incumbent? wallahu’alam.
Lalu siapa saja yang terlibat dalam penyelewengan bantuan sosial? menurut Tatang, belum bisa disebutkan siapa saja yang terlibat karena sejumlah nama akan dipanggil untuk diminta keterangan . “Kami masih tahap mengumpulkan keterangan.” Ungkap Tatang.
Jelasnya, kata Tatang, yang menangani pemberian bantuan dana itu berawal dari permohonan. Yang bisa saja masuk ke gubernur atau ke sekda. Dan semua itu lewat SKO ke SPP lalu ke SPM yang menjadi cek.”Kita juga akan meminta keterangan dari Sekda Provinsi,”kata Tatang.
Menurut Kepala Kejaksaan Tinggi, Ali Sabtu pada konprensi pers usai insiden pemukulan itu menyatakan pada tahap penyidikan telah dilakukan pemeriksaan terhadap sejumlah saksi. Karena prosesnya masih penyidikan nama-nama saksi dimaksud tak disebutkan. “jumlahnya lebih dari 10 orang, dan kerugian negara ditaksir mendekati Rp 10 miliar,” katanya.
Boleh jadi Kajati benar. Karena sumber GENTA yang enggan dimediakan menyebut, dana bantuan sosial melibatkan banyak pihak dan banyak nama. “Bisanya melalui proposal kegiatan yang diduga fiktif,”kata sumber itu. Nah. Kita tunggu saja kerja kejaksaan.
ilham mouradji, ikhsan bahruddin

Uji Nyali Duo Penyidik

Tak hanya lembaga kejaksaan , tapi lembaga Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) juga sedang di uji.

Sebenarnya dua lembaga yang menangani urusan periksa memeriksa ini tak perlu bersitegang soal kewenangan. Kalau memang ditengarai ada penyalahgunaan keuangan, kedua lembaga ini harus saling menopang. Tapi inilah yang aneh. Begitu mendapat informasi, bahwa semua dokumen keuangan diberikan ke BPK, pihak kejaksaan pun beralih ke BPK Maluku Utara. Sayangnya, pihak BPK enggan memberikan dokumen itu dengan alasan mereka masih melakukan audit. “Karena masih diaudit, data itu belum bisa diekspos keluar,” ungkap Daryono, Kasubag umum pada GENTA Jum’at, 14 Maret lalu.
”Padahal kita juga butuh data kas umum itu. Kita pun didesak target waktu, segera ada hasil dalam penyidikan. Sebetulnya, kalau mengacu pasal 38 KUHAP, kita bisa melakukan penyitaan di BPK, tapi kita koordinasi dulu. Saya dan Pak Wakajati sudah ke BPK, temui Pak Daryono tapi tetap tidak mau ngasih. Padahal anda bisa lihat sekarang, BPK meminta data dari Kejaksaan agung, juga bisa. Itu kan perintah undang-undang, apalagi dalam pasal 21 Undang-undang tindak pidana korupsi, siapa pun yang menghalang-halangi, merintangi dan menghambat penyidikan tindak pidana korupsi, bisa kena pidana. Tapi kan kita coba koordinasi dulu,” kata Tatang kesal.
Menurut Margarito Kamis, dalam soal ini BPK keliru. Karena mekanisme internal hanya berlaku untuk urusan internal BPK. ”Posisi dan itikad dari pemeriksaan BPK itu untuk apa? Kan untuk menjamin akuntabilitas atas penggunaan kekuasaan pengelolaan keuangan negara di daerah. Nah, penyidikan, itu dilakukan karena diduga ada penyimpangan penggunaan kekuasaan pengelolaan keuangan negara di daerah yang merugikan negara. Itu artinya substansi penyidikan pun dimaksudkan untuk memastikan dan mempromosikan akuntabilitas penggunaan kekuasaan pengelolaan keuangan negara di daerah,”ungkapnya.
Selain itu, BPK bukan lembaga penyidik, institusinya hanya memiliki kewenangan posisional mengecek penggunaan kekuasaan pengelolaan keuangan negara yang dipegang oleh Presiden yang dalam konteks daerah diserahan kepada Gubernur. ”Nah, dalam konteks penyidikan ini, kejaksaan memiliki kewenangan yang bersumber dari undang-undang nomor 8 tahun 1981 tentang KUHAP, untuk mengambil dokumen-dokumen itu di tangan siapapun, termasuk di BPK,” cecar Margarito kepada GENTA pada 19 Maret lalu.
Makanya Margarito juga menyayangkan sikap BPK dan menganggap kejaksaan dapat mengkonstruksikan sikap BPK sebagai bentuk menghalangi-halangi penyidikan tindak pidana korupsi.
Menurut Daryono, BPK bukan bermaksud menghalang-halangi penyidikan kejaksaan. Karena kejaksaan dan juga BPK punya kewajiban untuk meminta data ke Pemda. Tapi dokumen itu menurut Daryono masih ada di BPK yang duluan memintanya ke Pemda. Kalau pihak kejaksaan ingin mendapatkan dokumen itu bisa minta ke Pemda. ”Kalau menunggu hasil audit BPK harus bersabar menunggu sampai akhir Maret,”kata Daryono bersikeras.
Terlepas dari tarik ulur kewenangan dua lembaga ini, menurut Margarito langkah kejaksaan kejaksaan tidak seakdar memperbaiki citra. Karena faktanya, publik Maluku Utara juga kejaksaan tahu, korupsi di Maluku Utara luar biasa, tapi belum terungkap tuntas.
“Saya kira tepat apa yang dilakukan Kejati saat ini.Apakah memperbaiki citra atau tidak, itu soal lain. Soal persepsi publik. Bagi saya, ada fakta korupsi dan positif untuk segera dibongkar. Saya sangat setuju. Kalau publik menilai, jaksa cari muka atau Kejati memperbaiki diri karena dulu-dulunya parah, itu silakan saja. Bagi saya, ada kasus korupsi di Maluku Utara dan kejaksaan masuk untuk mengungkap, itu langkah yang bagus, dan kita harus mendukung,” ungkapnya.
Seia Margarito, HMI Cabang Ternate, Konsorsium Makuwaje dan Formak, ikut mensuport langkah kejaksaan. “Kami tetap mengawal, untuk seluruh dana yang di Korup di Maluku Utara, di antara DTT maupun Dana Sosial dan lain sebagainya. Ini akan tetap menjadi prioritas. Dan saya kira dana sosial ini menjadi langkah awal untuk membongkar kasus-kasus korupsi yang lainnya,”ungkap Jusnain Harun, Plt ketua umum.
so, ilham, ikhsan
dikutip dari majalah GENTA