Selasa, 29 Juli 2008

Morotai













Morotai tak sekadar sebuah nama di peta. Morotai adalah symbol perlawanan Jenderal Douglass McArthur melawan Jepang, di masa perang dunia II. Morotai juga menandai titik balik gerak cepat Laksamana Besar Jepang, Yamamoto. Pulau di ujung utara pulau Halmahera ini menandai antiklimaks Perang Pasifik yang menguras darah dan air mata ratusan juta rakyat di sepanjang pesisir Samudera Pasifik.
Morotai juga adalah titik simpul yang jadi target para Jenderal Amerika saat itu, baik Jenderal McArthur maupun Admiral Nimitz, Panglima AL Amerika Serikat untuk Pasifik, yang memegang kendali komando atas seluruh kekuatan tempur AL Amerika di Pasifik.
Pulau ini strategis, karena berada di bibir pasifik, dan mampu menjangkau Philipina, Papua, Kalimantan, Laut Cina Selatan, Australia, bahkan Jepang. Di sini dahulu, McArthur menempatkan ratusan ribu tentaranya, dan ratusan pesawat tempurnya, dalam operasi merebut dan menguasai Philipina (untuk memenuhi janjinya saat hengkang dari Bataan tahun 1942: I shall return), dan Jepang.
Dengan strategi leapfrogging yang terkenal itu, akhirnya ia memenangi peperangan di Pasifik. Sebuah peperangan yang brutal, dan penuh darah. Catatan tentang peperangan ini dapat dibaca dalam buku “Perang Pasifik,” oleh PK Ojong. Kisah tentang perang Pasifik juga dapat didengar dalam cerita para orang tua yang dulu pernah menjadi tentara Gerilya di Maluku Utara, sekaligus spion tentara Sekutu.
Soekarno, dalam merebut kembali Papua Barat awal tahun 1960-an, juga menjadikan Morotai sebagai ujung tombak dalam perang udara. Dari sini, pesawat-pesawat MIG Indonesia terbang dan menyerang target-target di Papua. Memang, Makassar dan Seram kelihatan lebih menonjol dalam Operasi yang diberi nama sandi Mandala ini, tetapi peran Morotai sebagai ujung tombak operasi udara, tetap yang paling penting.
Pada abad 21 ini, setelah Indonesia merdeka, Morotai mulai terlupakan. Pada tahun 2003, awal-awal periode saya dan kawan-kawan membangun Mingguan Aspirasi, Agus SB, salah seorang redaktur senior di Media ini, pulang ke kampong halaman istrinya, di Morotai. Saya saat itu meminta Rahman Samiun, pemimpin redaksi Aspirasi, agar memberi “tugas” tambahan ke Agus yang lagi berlibur itu.
Hasilnya, sepulangnya dari Morotai, antropolog dari Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate ini membawa satu laporan lengkap tentang Morotai. Dia menggambarkan, di tahun 1940-an, ketika Ternate, bahkan mungkin Jakarta, listrik dan tekhnologi modern adalah sesuatu yang mustahil, di Morotai, semua itu ada. Dia juga menguak tentang pulau Sum-sum, pulau yang sempat disinggahi dan dijadikan tempat berlindung, saat lari dari Bataan menuju Australia.
Pada tahun yang sama, Pemerintah Maluku Utara sedang getol menjual ide, Morotai jadi daerah otorita. Sesuatu yang banyak ditentang kalangan aktivis, karena dengan menjadikan Morotai otorita, maka kekuasaan dan kendalinya ada di Jakarta. Tak akan ada otonomi di sana. Akhirnyanya, ide ini tenggelam bersama pemekaran kabupaten dan kota di Maluku Utara.
Kini, orang hanya mengenal Morotai dari hasil kerajinan besi putih. Ya kalungnya, gelang, dan beragam hasil kerajinan lainnya. Dan, kebetulan saja, Mayjen (purn) Irvan Edison adalah putra kelahiran Morotai, maka ia sedikit dikenal. Tak ada yang menyinggung lagi tentang perannya di masa silam. Jangankan mengenang Morotai sebagai salah satu kerajaan kecil di utara Maluku Utara, seperti ditulis Adnan Amal SH, dalam buku Sejarah Maluku Utara, bahkan waktu yang demikian pendek, ternyata Morotai mulai dilupakan.
Morotai hari ini, hanya sebuah pulau di bibir Pasifik, yang saban tahun orang pergi ke sana, berburu kalung besi putih, atau mencari reruntuhan pesawat tempur, dan mobil jeep militer (jip willis) peninggalan Perang Dunia II yang termashur itu. Dan juga gadis-gadisnya yang cantik-cantik.

Senin, 21 Juli 2008

Banau

Suatu hari saya membaca Malut Pos. Di situ ditulis, beberapa sineas Jakarta mau membuat film tentang Banau. Artikel itu menyebutkan, Banau yang berjuang dan mati pada tahun 1517, hendak difilmkan oleh salah satu production house yang dimikili putra-putra actor ternama Indonesia di era 1970-an, Almarhum WD. Mohtar. Saya terkejut, tahun 1517? Tak salah? Apa catatan tentang Jailolo dan Banau, pahlawan Halmahera di paru awal abad 20 sedemikian miskinnya, hingga untuk menentukan tahunnya, para sineas ini kesulitan menentukan tahunnya.
Memang, film bukanlah sebuah catatan sejarah. Tapi setidaknya, cerita itu diharapkan tidak bergeser jauh dari kisah yang sebenarnya. Karena dari sana, orang dapat membayangkan, seperti apa cita-cita pemberontakan Banau.
Usai membaca laporan Malut Pos, saya menelepon salah satu redakturnya. Kepada kawan redaktur itu saya sampaikan protes itu. Esoknya, dalam berita lanjutan soal Banau, protes saya ditulis kembali, dan saya “didaulat” Malut Pos sebagai budayawan muda. Ahaa. Mendengar kata budayawan, saya teringat akan kawan baik saya yang bernama Marwan Hamzah.
Ketua Pemuda Demokrat Maluku Utara ini dikenal koleganya sebagai salah satu budayawan local. Seminggu lalu dia mengirim pesan pendek ke telepon seluler saya. Isinya, “Banau pe cucu, telepon balik. Saya so rindu ngoni pe suara.”
Hanya kawan dekat yang biasa bercanda secara berlebihan. Dan dia salah satu kawanku, yang, meski di tengah ketegangan politik, masih sering halo-haloan.
Dia mengabarkan tentang posisi barunya di jajaran Partai Demokrat Maluku Utara. Ia bertanya tentang banyak hal. Di antaranya, bagaimana bacaan saya terhadap kondisi geopolitik local di Ternate, karena dia maju sebagai salah satu kandidat yang akan bertarung dalam pemilu 2009.
Selain dia, di “sekoci” Partai Demokrat ada juga kolega saya, Rahmi Husen, yang akrab disapa Junaidi. Mantan ketua KPU Maluku Utara ini ternyata didorong Partai Demokrat dari Daerah Pemilihan Halmahera Selatan.
Terlepas dari informasi soal para politisi muda di Maluku Utara, saya kembali teringat akan nasib pahlawan dari Jailolo ini. Dia dikenal sebagai pemberontak dari teluk Jailolo. Dari Tuada dan Todowongi, menyebar ke Porniti, dan wilayah Jailolo lainnya.
Tapi Jailolo adalah daerah yang hampir dilupakan dari sejarah lokal. Dari sebuah Negara besar di seluruh daratan Halmahera, ia menciut menjadi sebuah kampung kecil di pesisir barat pulau Halmahera. Sejak Katarabumi meninggalkan jejak kejayaan yang kemudian dibungkam nafsu serakah antar anak negeri sendiri, daerah ini hanya mendapat keistimewaan, menjadi satu distrik di masa akhir kolonial.
Hari ini orang lebih mengenal burung bidadari (semiopthera wallacii, sp) salah satu burung endemic Halmahera yang ditemukan pertama kalinya dalam sejarah ilmu pengetahuan oleh Alfred Wallace, ahli Botani dari Inggris.
Padahal, membayangkan Banau, ibarat membandingkannya dengan Leonidas, pahlawan perang Sparta dalam cerita Yunani Kuno. Bagaimana Banau, dengan karibnya, Puaen, bahu-membahu dengan pasukannya yang jauh lebih kecil dari pasukan Belanda dan armada perang Ternate. Tapi kisah tentang Banau adalah kisah tentang kepahlawanan orang-orang Halmahera.
Di Porniti, satu dusun kecil di distrik Jailolo, mereka menyongsong balatentara yang kuat, bagai Leonidas di Thermopelatea, sebuah cela sempit menuju tanah Yunani. Leonidas, dan kemudian juga Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW di Padang Karbala, adalah martir yang kukuh pada pendirian, hingga titik darah terakhir. Seperti juga Banau di Jailolo.
Cerita tentang Banau dan Jailolo, adalah kisah pilu orang-orang kecil yang menuntut hak mereka, kemerdekaan dari membayar pajak yang berat (blasting), dan hidup sebagai manusia merdeka. Merdeka dalam arti menjadi manusia utuh, bukan budak atau setengah budak.
Tapi hari ini, kita hanya mengenal Banau tak lebih dari nama sebuah battalion tempur TNI AD yang bermarkas di Jailolo, sebuah battalion dengan nomor pengenal Yonif 732. Sebuah ironi yang pahit. Untungnya para petinggi TNI masih berbaik hati menamakan battalion tentara organic Maluku Utara dengan nama “Leonidas” dari Tuada ini.
Padahal di masa lalu, Jailolo (Gilolo), adalah penamaan terhadap pulau Halmahera, karena seluruh daratan pulau itu dikuasai oleh Katarabumi, raja Jailolo yang paling kuat. Dia disingkirkan dalam sebuah persekongkolan halus, dan anak cucunya digusur dari bumi Jailolo, setelah pralaya kedaton Tagalaya.
Jailolo, 20 Juli 2008

Rabu, 16 Juli 2008

Pasukan Keluarga





















Catatan tentang Republik Wonge


Setelah empat bulan hidup di Jakarta, saya menjadi sadar, negeri ini sedang sakit. Penyelenggaranya, dan rakyatnya, ternyata sudah sama-sama sakit. Ini negeri, adalah wujud dari sebuah republik Wonge. Kata Wonge ini---awalnya dipopulerkan senior saya di HMI, Saiful Bahri Ruray, mantan sekjen HMI yang kini wakil ketua DPRD Maluku Utara---secara etimologi, bermakna kata benda. Ia adalah penamaan terhadap sebangsa jin atau genderuwo, atau dedemit, menurut bahasa Ternate. Buku yang diberi Judul “Balada Republik Wonge,” itu menyindir ke semua arah.
Syaiful menulis puisi-puisinya yang berisi sindiran sinis terhadap perilaku elit politik dan birokrat di Maluku Utara. Tapi, puisi itu universal. Maknanya kemudian saya temukan, ketika di Jakarta. Saya masih agak naïf begitu datang ke ibukota. Berpikir bahwa mereka yang pernah menjadi aktivis, aktivis, para ilmuan, adalah orang yang masih menghargai nurani, dan bekerja dalam bingkai moral dan etika.
Saya terkejut, karena yang saya temukan adalah rimba raya “kejahatan” yang paling banal. Di sini, semua orang bicara, muara semua persoalan adalah uang. Jadi, jangan heran, di negeri ini, orang pelit, tak punya uang dan koneksi kuat, meskipun jujur dan punya kemampuan manajerial, tidak bakalan menjadi pemimpin. Secara tak sadar, feodalisme dimunculkan kembali, dalam bentuk yang berbeda. Dulu ukuran feudal adalah darah biru atau tidak, sekarang, anda bisa menjadi pangeran cukup dengan menunjukkan angka kekayaan yang dimiliki. Ironis memang.
Karib saya di majalah GENTA terbitan Ternate, Sofyan Daud, dalam satu diskusi lepas pada Rabu malam (2/7-08) menyebut, mentalitas inlander dan ambtenaar seperti ini yang mendorong terjadinya penghancuran moralitas pejuang dalam diri tiap orang. Ada benarnya juga, menilik fakta yang terjadi di negeri ini, selama bertahun-tahun.
Sau contoh yang paling telanjang, adalah dana DCU yang diambil dari dana Inpres Khusus nomor 6/2003. Dana yang digelontor sejak Megawati masih berkuasa, sampai SBY hampir menyelesaikan tugas lima tahunan sebagai Presiden RI, jumlahnya cukup lumayan. Rp. 1,7 trilyun. “Itu dana jumlahnya seribu tujuh ratus milyar, dan dalam pertanggung jawaban dijelaskan realisasinya seratus persen,” ujar Sofyan.
Herannya, dana yang peruntukannya untuk penanganan pasca konflik, alokasinya lari entah kemana. Proyek yang puluhan milyar itu, tak pernah kelihatan di lapangan. Dan para pengungsi masih tinggal di barak kumuh di gudang Bimoli. Serta untuk mempertahankan hidup, mereka jualan minuman keras illegal.
Lalu, nilai apa yang harus diperjuangkan di negeri yang modelnya sudah seperti ini? Pertanyaan itu terus mengikuti langkah saya, usai diskusi di kelurahan Toboko-Ternate. Tak sengaja hari ini saya membaca sebuah majalah tempo edisi lama. Ada artikel tentang tari cakalele berbendera RMS di hadapan presiden SBY, di Ambon, tahun lalu. Membaca sepintas saya langsung merenung, kenapa gerakan ‘proklamasi 25 April 1950’ masih terus berkibar? Kenapa Papua masih mengibarkan bintang kejora? Adakah ini semua semata-mata akumulasi dari kekecewaan daerah terhadap pembagian kue yang tidak seimbang. Ataukah ada hal lain yang lebih besar, krisis identitas karena merasa sebagai anak jajahan? Pertanyaan itu terus mengikuti.
Saya teringat akan paman saya, yang pernah menjadi pemimpin pemberontakan Permesta di rimba Halmahera. Ia, seorang pejuang yang menanggalkan baju hijaunya begitu kemerdekaan tercapai, yang sangat memuja Bung Karno, memilih memanggul senjata lagi, bersama-sama bekas anak buahnya di masa perang kemerdekaan, demi mempertahankan prinsipnya: Negara harus memberi kesejahteraan kepada seluruh rakyatnya, di seluruh penjuru tanah air. Penganut welfare state yang setia.
Pesannya kepada kami anak cucunya adalah, berbuat sesuatu untuk kepentingan orang banyak itu jangan pernah berharap pamrih. Ia, Jalil Binongko, yang berjuang untuk Maluku Utara lewat gerakan bersenjata di era 1940-an akhir hingga 1950, adalah sejawatnya Arnold Mononutu. Tapi, usai itu ia memilih bergerak di dunia politik dan gerakan koperasi. Tak pernah ada jabatan politik yang disandangnya. Dan ia cukup menikmati itu. Tujuan berpolitiknya adalah, memberikan pencerdasan kepada warganya tentang hak-hak politik mereka sebagai warga Negara.
Tapi hari ini, di ibukota negeri ini, saya terpaksa membalik semua logika saya tentang hakekat menjadi warga Negara ini. Hanya orang yang punya mental perampok yang bisa menembus jejaring kekuasaan. Di sini juga saya temukan, seorang idealis hanya hidup di mimpi-mimpi. Kita bisa survive di negeri ini kalau bersikap realis dan menerima kenyataan pahit di hidup kita. Sebagai anak daerah, ternyata, saya tak lebih dari anak jajahan. Maka wajar jika negeri ini dijuluki Republik Wonge, atau Republik Gendruwo.
Di bandara Manado, tak sengaja saya ketemu lagi dengan Saiful. Ko Ipul, begitu saya menyapanya. Dalam diskusi ringan menjelang naik ke pesawat, ia bercerita banyak hal. Mulai dari Pilkada yang sulit diprediksi hasilnya, sampai ke kekuasaan di negeri ini, yang katanya, ada di tangan penguasa yang tak kelihatan. Semacam Genderuwo atau apalah. Belum tuntas diskusi tanpa judul kami, terdengar pemberitahuan bahwa pesawat Wings Air jurusan Manado - Ternate mau berangkat. Penumpang diminta naik ke pesawat. Selesailah sudah diskusi tanpa judul ini.
Manado, Juli 2008