Minggu, 24 Agustus 2008

Pelacuran dan AIDS, Masalah Sosial yang Rumit


Jailolo, Halmahera Barat. Pagi tanggal 6 Agustus 2008. Saya lagi asyik membaca tumpukan dokumen verifikasi calon Anggota Dewan Perwakilan Daerah dari Maluku Utara. Membuka satu demi satu, diantara mereka ada muka lama di DPD, yang kiprahnya di senat sudah diketahui rakyat Maluku Utara.

Karena kelelahan, saya istirahat. Sekadar refreshing, saya berselancar di dunia maya. Waktu membuka Kompas online, saya kaget. Karena di berita daerah saya, Ternate, ada satu berita yang mengusik pikiran saya. Judulnya, “PSK di Ternate Makin Mengkhawatirkan”. Laporan yang dikutip dari KBN ANTARA itu sudah biasa, tapi ketika diangkat menjai wacana nasional, saya jelas kaget.

Membaca berita ini secara serius, saya teringat penelitian sejumlah dosen muda di Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate. Laporan tim yang dinakhodai Taty Sumiaty, SKM., dari Fakultas Ilmu Kesehatan UMMU ini mendeskripsikan secara telanjang, betapa wajah kota yang disebut-sebut pernah punya sejarah Islam yang gemilang di masa lalu, mulai dari Zainal Abidin, Baabullah, hingga Bayan Sirullah, kini telah bopeng sana sini.

Penelitian tiga dosen muda di Fakultas Kesehatan Masyarakat, Universitas Muhammadiyah Maluku Utara akhir 2006, tentang perilaku seks di kalangan pelajar SMU, melengkapi keterkejutan warga Ternate. Kurang lebih 12,7 persen dari 1076 sampel, atau sekitar 137 siswa SMU, ternyata pernah melakukan seks bebas. Entah itu dengan pacar, teman, saudara, bahkan dengan pekerja seks.

Dari segi usia, ternyata pengalaman berhubungan layaknya suami istri, telah dilakukan anak-anak ini sejak usia yang masih sangat dini. Sebanyak 137 siswa dan siswi SMU ini, 21,9 persen sudah melakukan di usia antara 12 hingga 14 tahun. Jumlah terbesar, 73 persen, mengaku sudah melakukan hubungan badan dengan lawan jenis di usia 15 sampai 17 tahun. Hanya 2,2 persen yang melakukan di atas usia 17 tahun.

Studi di 17 SMU dan sederajat di kota Ternate ini hanya menegaskan dengan jelas gambaran wajah kota Ternate kini, dalam bentuk yang paling kelam. Bukan rahasia lagi, perilaku seks menyimpang ini telah melahirkan generasi pelajar sekolah menengah yang disebut dengan toteba, yang memandang, berhubungan seks tak lebih dari proses jual beli. Bukan lagi sekadar just for fun.

Budaya Ternate sendiri, yang cenderung terbuka (inklusif) memberi peluang bagi masuknya budaya asing, baik yang positif maupun negative. Penetrasi budaya ini sudah terjadi sejak jaman Portugis, lalu Belanda, dan akhirnya sekarang, membentuk karakter masyarakat yang cenderung bisa menerima akulturasi budaya.

Bagusnya, di masa lalu, Islam selalu menjadi filter, yang dibahasakan sebagai “Adat matoto agama Rasulullah”. Dengan demikian, pemegang otoritas hukum kesultanan Ternate masih dapat menindak mereka yang dianggap melanggar adat, dengan hukum kesultanan yang tegas.

Seiring berjalannya waktu, kemerdekaan Indonesia memberi ruang bagi tumbuhnya daerah-daerah bisnis baru. Ternate, sebagai Bandar bisnis tradinional, terus tumbuh menjadi daerah pelabuhan baru. Pembenahan oleh pemerintah terus dilakukan.

Nah, sebagai kota Bandar, mau tidak mau Ternate harus menerima kenyataan, tumbuhnya pelacuran terselubung. Awalnya, hanya untuk melayani para pelaut yang kebetulan menyinggahi pelabuhan Ternate, kemudian berlanjut masyarakat lokal juga mulai menjadi konsumen para pekerja seks ini.

Dari sini, pelacuran kemudian membentuk komunitas tersendiri yang cenderung ekslusif, dan mulai dikendalikan oleh tangan-tangan tak terlihat. Komunitas ini yang lalu menjadi bisnis yang dikelola secara professional, mulai dari memasok pelacur dari Sulawesi dan Jawa, hingga mendistribusikan ke diskotik-diskotik, karaoke room, dan hotel.

Pada tahun 1990-an, majalah Fakta menulis tentang Bastiong, sebuah kelurahan di daerah pelabuhan di Ternate. Judul tulisannya menyengat banyak pihak, “Bastiong, Kampung Penuh Dosa.” Deskripsi tentang perilaku penjaja seks di sepanjang tepian jalan dekat pelabuhan sungguh memiriskan hati, sekaligus menyentak kesadaran banyak petinggi politik maupun agamawan di Ternate.

Berita itu sempat membuat petinggi pemerintah Kabupaten Maluku Utara (saat itu Maluku Utara belum provinsi sendiri, masih gabung dengan Maluku) meradang. Penertiban pelaku seks jalanan berlangsung di bawah kendali Bupati Kolonel Abdullah Assagaf (sekarang Brigjen purnawirawan).

Sempat berhenti beberapa saat, namun karena para cukongnya tak terjerat, maka kemudian diam-diam muncul lagi. Diskotik juga mulai jadi tempat mejeng baru bagi para PSK yang diambil dari wilayah Sulawesi Utara dan Jawa/Sunda.

Keadaan ini terus berjalan hingga saat konflik horizontal di Maluku Utara, 1999 – 2000 silam. Di saat laskar Jihad sibuk mengurus orang untuk menegakkan syariat Islam, di jantung kota, para pelacur juga sibuk melayani para pelanggannya. Saat itu, saya bekerja di Mingguan Ternate Pos. Saya pernah ditugasi pemred saya, Rahman Lahabato, menulis tentang pelacuran yang kian merajalela. Saat yang sama, bos saya di Jakarta, Sri Raharti Adiningrum, Kordinator Daerah Majalah Forum Keadilan, meminta saya menulis tentang janda-janda korban konflik.

Bersama Alwi Attamimi, kami berdua menelusuri jejak-jejak pelaku PSK. Penelusuran kami akhirnya sampai ke pertigaan di depan Gereja Ayam Ternate. Di samping gereja yang waktu itu masih hancur karena konflik komunal, kami menemukan yang kami cari: kafe kecil, yang di bagian belakangnya ada bilik-bilik kecil untuk para pekerja seks ini.

Kami tak berani wawancara, karena saat itu situasi masih mencekam, ada beberapa prajurit TNI BKO yang hilir mudik dan bercanda dengan “ayam-ayam” kampong ini, maklum Presiden Gus Dur baru baru memberlakukan status Keadaan Darurat Sipil di Maluku dan Maluku Utara.

Tapi, melongok kamar-kamar sederhana di kamar-kamar kafe yang bernama pondok Kelapa itu, kita terhenyak. Di pintu kamar ada stiker bertuliskan, “ketuk dan ucapkan, Assalamualaikum. Tulisan Assalamualaikum dalam aksara Arab. Di kamar sebelahnya, begitu saya dengan kawan Alwi melongok ke dalam, di samping seorang gadis yang lagi duduk, terlihat salib kecil di samping meja rias kecil.

Padahal tak jauh dari situ, anggota laskar Ahlussunnah Wal Jamaah, semacam provost-nya Laskar Jihad, terlihat menggeledah kafe dan rumah yang diduga menampung perempuan pekerja malam. Sekali waktu, saya sempat menyaksikan mereka menggerebek rumah yang di dalamnya ada empat orang, satu diantaranya perempuan, lagi asyik bermain judi. Pelakunya digelandang ke depan mesjid Al-Fajry, yang menjadi basis pasukan Jihad lokal.

Peristiwa yang delapan tahun berlalu itu telah menjadi sejarah. Tapi perilaku penjaja seks tetap tak berubah. Bahkan makin canggih dan jumlahnya makin meningkat seiring tumbuhnya bisnis hiburan malam, macam karaoke dan diskotik yang bertameng kafe & Restoran.

Inilah fakta, kota Madani yang diidamkan warganya, tercemar nista dan AIDS. Kota yang oleh Jubair Situmorang, dari STAIN Ternate, diistilahkan sebagai mengalami kejutan akibat lompatan budaya yang terlalu radikal, yang tak mampu direduksi warganya. Menurutnya, ini fenomena yang harus ditangkap dengan serius oleh warganya, utamanya oleh pemerintah dan tokoh masyarakatnya. Agar identitas religious kota Madani tak serta merta tercerabut begitu saja.

Drs. Mudaffar Syah, sultan Ternate mengaku, pergeseran budaya memang sudah jadi fenomena nasional. Tapi menurutnya, jika perencanaan tentang pembinaan masyarakat tidak memiliki konsep yang jelas, maka lebih kacau lagi. “Masyarakat kita, utamanya anak muda, akan jadi korban,” jelas politisi PDK yang kini duduk di kursi DPR RI ini.

Ternate, 13 Agustus 2008

Moral dan Kekuasaan


PERJALANANpartai-partai politik di Indonesia mengalami pasang surut yang luar biasa dalam beberapa tahun ini. Selain kepedulian terhadap konstituen (baca: masyarakat), juga partai politik ternyata lebih menyisakan kecenderungan untuk memperjuangkan kepentingannya. Alih-alih, partai politik senang “bertarung” dalam tataran wacana kekuasaan, dan jarang memasuki wilayah yang selama ini menjadi kebutuhan masyarakat.

Bagaimana dengan partai-partai Islam? Bisa dikatakan setali tiga uang, berbagai performance politik yang ditampilkan, termasuk komunikasi politik masih berada dalam “perebutan” hegemoni untuk mendulang simpati masyarakat. Kita cenderung menafikan gebrakan partai politik Islam yang santun bersuara dan bergerak pada tataran terbawah untuk melakukan pendampingan terhadap berbagai penderitaan yang dialami masyarakat.

Kecenderungan lain yang muncul adalah tampilnya konflik secara internal yang tidak mampu ditata-kelola para politisi secara lebih berenergi bagi keberlangsungan program-program partai. Partai hanya dikenal masyarakat ketika geriap pesta politik digelar. Setelah itu, partai seperti kehilangan nuansa, sunyi dan seolah-olah mati suri. Program-program yang diancangkan dalam berbagai rapat kerja atau pun juga “fatwa” kandidat yang hendak memimpin satu partai politik terkadang tak mampu terlihat nyata ketika partai itu berkibar.

Pada konteks ini, peran partai politik –termasuk berlabel Islam—sudah semestinya dikelola lebih pada konteks sosial, artinya, partai sudah waktunya digeser untuk tidak lagi melihat kepentingan masyarakat dalam skope yang lebih sempit, hanya berdasarkan ideologi yang ada. Karena sekali lagi, partai hanyalah sebagai alat agregasi dan penyalur aspirasi masyarakat untuk tujuan politik mereka yang lebih mulia, yakni bagaimana mereka dapat menggenggam harapan-harapan, bukan menggenggam mimpi-mimpi. Yang terjadi, adalah partai justru menjadi alat kepentingan elit untuk meraih harapan-harapan sesaat melalui kekuasaan. Di sini yang harus diantisipasi adalah bermainnya kelompok oligarkhi dalam partai politik Islam, ketika kepentingannya tidak terwujud, dan masyarakat menjadi legitimator untuk “merestui” kepentingannya. Bila konteks ini terjadi, apa bedanya partai politik Islam dengan lintah darat?

Menurunnya kecenderungan terhadap partai-partai politik, termasuk partai politik Islam, sudah harus ditafsir bahwa partai-partai politik mengalami dilema paling akut, yakni mulai menipisnya kepercayaan politik masyarakat। Untuk itu, gaya dan metode yang selama ini selalu diagungkan partai politik Islam harus dirubah, harus ada shifting paradigm (pergeseran paradigma), bahwa partai politik Islam, semata-mata untuk kemaslahatan ummat dan masyarakat, bukan untuk kepentingan elit. Dalam konteks ini, maka, kehadiran partai politik Islam harus terus dikawal, ditata-kelola dan diperbaiki, sehingga dapat menjadi alat politik paling efektif untuk memperjuangkan kepentingan ummat dan masyarakat. (Rusli Djalil)

opini majalah Genta