(http://kompas.com)
Tanggal : 03 Oct 2008
Direktur Eksekutif Lingkar Madani Indonesia (LIMA) Ray Rangkuti menganggap, pengumumunan rencana maju sebagai capres di Istana Negara, sama saja sudah melanggar etika politik. Sementara pengamat politik yang juga capres independen Fadjroel Rahman menyatakan, Bawaslu harus memberikan sanksi tegas kepada Presiden SBY.
"Presiden SBY telah melanggar etika. Seharusnya mengumumkan pencalonan dirinya kembali sebagai capres, harus dilakukan di tempat netral, bukan Istana Negara. Presiden SBY, bukanlah seorang raja dan tiran yang bisa mengumumkan kelanjutan tirani kekuasaannya di Istana kerajaan atau di lingkungan pemerintahan yang seharusnya menjadi tempat yang netral," kata Ray Rangkuti secara khusus kepada Persda Network, Jumat (3/10).
Ray mengakui, memang tidak ada perundang-undangan yang mengatur bagi para calon kandidat capres dan cawapres yang diperbolehka dimana harus mengumumkak pencalonannya. Namun, secara etika politik, kata Ray, tentu saja Istana tidak bisa dijadikan tempat untuk ajang kampanye.
"Yang kita kritisi adalah terkait dengan etika pengelolaan negara. Sering kali kita memandang etika bernegara itu dengan sepele. Padahal, itu hal yang sangat fundamental konstitusi dan pengelolaan pemerintahan yang baik dan bersih. Karena ini hanya masalah pelanggaran etika politik saja, maka sanksi yang didapat hanyalah sanksi sosial. Jadi, ada baiknya ini pelajaran bagi para incumbent yang ingin kembali maju baik sebagai calon presiden atau apapun.
Sebelumnya diberitakan, Minggu (28/9) Presiden SBY menyatakan diri kembali maju sebagai calon presiden pada pemilihan presiden 2009. Ia pun memberi isyarat masih akan berpasangan dengan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Jika terpilih, inilah periode kedua dan terakhir SBY menjabat sebagai Presiden.
Pengamat politik yang juga capres independen Fadjroel Rahman menegaskan kembali, memakai fasilitas negara untuk kepentingan pribadi jelas sebuah pelanggaran etika dalam berpolitik. Bila memang hukum ingin ditegakkan, harusnya kepada siapapun yang melanggar mesti mendapatkan tindakan sanksi, terutama oleh pihak Bawaslu.
"Memakai fasilitas negara untuk kepentingan pribadi dan parpol adalah korupsi, tidak hanya sekedar masalah etis saja. Pelanggaran hukum ini mesti diusut oleh Bawaslu agar hukum bisa berlaku kepada siapapun. Tak terkecuali kepada Presiden SBY," tandas Fadjroel Rahman.
Praktik pemakaian fasilitas negara ini memang kerap dilakukan secara berulang-ulang dalam berbagai bentuk. Menurutnya, tak terkecuali kepada Presiden SBY, kepada kepala negara sebelumnya, termasuk mantan penguasa Orde Baru, Soeharto juga kerap melakukan.
"Jadi, demi menegakkan iklim demokrasi yang lebih baik, adanya pelanggaran etika sekarang ini haruslah ditegakkan hukum kepada siapapun yang melanggar.
Sekjen DPP PDI Perjuangan Pramono Anung saat ditemui usai shalat Ied di Kantor DPP PDI Perjuangan, Rabu (1/10) lalu berharap, UU Pilpres yang akan dikelurkan nanti harus bisa mengatur secara detail terkait larangan kepada para kandidat untuk tidak menggunakan fasilitas negara untuk kepentingan pribadi.
"Salah satu hal kelemahan yang lalu, memang belum diatur secara lebih jelas. Sebenarnya gampang sekali, ketika melakukan sosialisasi pribadi, tidak boleh simbol-simbol kenegaraan itu ada. Dan pada waktu, walapun belum diatur oleh undang-undang ketika ibu Megawati melakukan sosialisasi pribadi, tidak pernah, contoh sederhana saja, menggunakan kendaraan atau mobil negara yang merupakan simbol kepresidenan, " papar Pramono.
"Nah, harusnya itu juga harus dilakukan sama kepada semua calon-calon presiden yang lain. Kita ingin memberikan catatan, harusnya Istana Negara itu kan pusat pemerintahan atau pusat negara, bukan pusat bagi seseorang untuk mencalonkan diri. Kalau mau mencalonkan diri, silahkan dimana saja, jangan di Istana Negara," tandas Pramono Anung. (Persda Network/Rachmat Hidayat)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar