Morotai tak sekadar sebuah nama di peta. Morotai adalah symbol perlawanan Jenderal Douglass McArthur melawan Jepang, di masa perang dunia II. Morotai juga menandai titik balik gerak cepat Laksamana Besar Jepang, Yamamoto. Pulau di ujung utara pulau Halmahera ini menandai antiklimaks Perang Pasifik yang menguras darah dan air mata ratusan juta rakyat di sepanjang pesisir Samudera Pasifik.
Morotai juga adalah titik simpul yang jadi target para Jenderal Amerika saat itu, baik Jenderal McArthur maupun Admiral Nimitz, Panglima AL Amerika Serikat untuk Pasifik, yang memegang kendali komando atas seluruh kekuatan tempur AL Amerika di Pasifik.
Pulau ini strategis, karena berada di bibir pasifik, dan mampu menjangkau Philipina, Papua, Kalimantan, Laut Cina Selatan, Australia, bahkan Jepang. Di sini dahulu, McArthur menempatkan ratusan ribu tentaranya, dan ratusan pesawat tempurnya, dalam operasi merebut dan menguasai Philipina (untuk memenuhi janjinya saat hengkang dari Bataan tahun 1942: I shall return), dan Jepang.
Dengan strategi leapfrogging yang terkenal itu, akhirnya ia memenangi peperangan di Pasifik. Sebuah peperangan yang brutal, dan penuh darah. Catatan tentang peperangan ini dapat dibaca dalam buku “Perang Pasifik,” oleh PK Ojong. Kisah tentang perang Pasifik juga dapat didengar dalam cerita para orang tua yang dulu pernah menjadi tentara Gerilya di Maluku Utara, sekaligus spion tentara Sekutu.
Soekarno, dalam merebut kembali Papua Barat awal tahun 1960-an, juga menjadikan Morotai sebagai ujung tombak dalam perang udara. Dari sini, pesawat-pesawat MIG Indonesia terbang dan menyerang target-target di Papua. Memang, Makassar dan Seram kelihatan lebih menonjol dalam Operasi yang diberi nama sandi Mandala ini, tetapi peran Morotai sebagai ujung tombak operasi udara, tetap yang paling penting.
Pada abad 21 ini, setelah Indonesia merdeka, Morotai mulai terlupakan. Pada tahun 2003, awal-awal periode saya dan kawan-kawan membangun Mingguan Aspirasi, Agus SB, salah seorang redaktur senior di Media ini, pulang ke kampong halaman istrinya, di Morotai. Saya saat itu meminta Rahman Samiun, pemimpin redaksi Aspirasi, agar memberi “tugas” tambahan ke Agus yang lagi berlibur itu.
Hasilnya, sepulangnya dari Morotai, antropolog dari Universitas Muhammadiyah Maluku Utara (UMMU) Ternate ini membawa satu laporan lengkap tentang Morotai. Dia menggambarkan, di tahun 1940-an, ketika Ternate, bahkan mungkin Jakarta, listrik dan tekhnologi modern adalah sesuatu yang mustahil, di Morotai, semua itu ada. Dia juga menguak tentang pulau Sum-sum, pulau yang sempat disinggahi dan dijadikan tempat berlindung, saat lari dari Bataan menuju Australia.
Pada tahun yang sama, Pemerintah Maluku Utara sedang getol menjual ide, Morotai jadi daerah otorita. Sesuatu yang banyak ditentang kalangan aktivis, karena dengan menjadikan Morotai otorita, maka kekuasaan dan kendalinya ada di Jakarta. Tak akan ada otonomi di sana. Akhirnyanya, ide ini tenggelam bersama pemekaran kabupaten dan kota di Maluku Utara.
Kini, orang hanya mengenal Morotai dari hasil kerajinan besi putih. Ya kalungnya, gelang, dan beragam hasil kerajinan lainnya. Dan, kebetulan saja, Mayjen (purn) Irvan Edison adalah putra kelahiran Morotai, maka ia sedikit dikenal. Tak ada yang menyinggung lagi tentang perannya di masa silam. Jangankan mengenang Morotai sebagai salah satu kerajaan kecil di utara Maluku Utara, seperti ditulis Adnan Amal SH, dalam buku Sejarah Maluku Utara, bahkan waktu yang demikian pendek, ternyata Morotai mulai dilupakan.
Morotai hari ini, hanya sebuah pulau di bibir Pasifik, yang saban tahun orang pergi ke sana, berburu kalung besi putih, atau mencari reruntuhan pesawat tempur, dan mobil jeep militer (jip willis) peninggalan Perang Dunia II yang termashur itu. Dan juga gadis-gadisnya yang cantik-cantik.