Setelah empat bulan hidup di Jakarta, saya menjadi sadar, negeri ini sedang sakit. Penyelenggaranya, dan rakyatnya, ternyata sudah sama-sama sakit. Ini negeri, adalah wujud dari sebuah republik Wonge. Kata Wonge ini---awalnya dipopulerkan senior saya di HMI, Saiful Bahri Ruray, mantan sekjen HMI yang kini wakil ketua DPRD Maluku Utara---secara etimologi, bermakna kata benda. Ia adalah penamaan terhadap sebangsa jin atau genderuwo, atau dedemit, menurut bahasa Ternate. Buku yang diberi Judul “Balada Republik Wonge,” itu menyindir ke semua arah.
Syaiful menulis puisi-puisinya yang berisi sindiran sinis terhadap perilaku elit politik dan birokrat di Maluku Utara. Tapi, puisi itu universal. Maknanya kemudian saya temukan, ketika di Jakarta. Saya masih agak naïf begitu datang ke ibukota. Berpikir bahwa mereka yang pernah menjadi aktivis, aktivis, para ilmuan, adalah orang yang masih menghargai nurani, dan bekerja dalam bingkai moral dan etika.
Saya terkejut, karena yang saya temukan adalah rimba raya “kejahatan” yang paling banal. Di sini, semua orang bicara, muara semua persoalan adalah uang. Jadi, jangan heran, di negeri ini, orang pelit, tak punya uang dan koneksi kuat, meskipun jujur dan punya kemampuan manajerial, tidak bakalan menjadi pemimpin. Secara tak sadar, feodalisme dimunculkan kembali, dalam bentuk yang berbeda. Dulu ukuran feudal adalah darah biru atau tidak, sekarang, anda bisa menjadi pangeran cukup dengan menunjukkan angka kekayaan yang dimiliki. Ironis memang.
Karib saya di majalah GENTA terbitan Ternate, Sofyan Daud, dalam satu diskusi lepas pada Rabu malam (2/7-08) menyebut, mentalitas inlander dan ambtenaar seperti ini yang mendorong terjadinya penghancuran moralitas pejuang dalam diri tiap orang. Ada benarnya juga, menilik fakta yang terjadi di negeri ini, selama bertahun-tahun.
Sau contoh yang paling telanjang, adalah dana DCU yang diambil dari dana Inpres Khusus nomor 6/2003. Dana yang digelontor sejak Megawati masih berkuasa, sampai SBY hampir menyelesaikan tugas lima tahunan sebagai Presiden RI, jumlahnya cukup lumayan. Rp. 1,7 trilyun. “Itu dana jumlahnya seribu tujuh ratus milyar, dan dalam pertanggung jawaban dijelaskan realisasinya seratus persen,” ujar Sofyan.
Herannya, dana yang peruntukannya untuk penanganan pasca konflik, alokasinya lari entah kemana. Proyek yang puluhan milyar itu, tak pernah kelihatan di lapangan. Dan para pengungsi masih tinggal di barak kumuh di gudang Bimoli. Serta untuk mempertahankan hidup, mereka jualan minuman keras illegal.
Lalu, nilai apa yang harus diperjuangkan di negeri yang modelnya sudah seperti ini? Pertanyaan itu terus mengikuti langkah saya, usai diskusi di kelurahan Toboko-Ternate. Tak sengaja hari ini saya membaca sebuah majalah tempo edisi lama. Ada artikel tentang tari cakalele berbendera RMS di hadapan presiden SBY, di Ambon, tahun lalu. Membaca sepintas saya langsung merenung, kenapa gerakan ‘proklamasi 25 April 1950’ masih terus berkibar? Kenapa Papua masih mengibarkan bintang kejora? Adakah ini semua semata-mata akumulasi dari kekecewaan daerah terhadap pembagian kue yang tidak seimbang. Ataukah ada hal lain yang lebih besar, krisis identitas karena merasa sebagai anak jajahan? Pertanyaan itu terus mengikuti.
Saya teringat akan paman saya, yang pernah menjadi pemimpin pemberontakan Permesta di rimba Halmahera. Ia, seorang pejuang yang menanggalkan baju hijaunya begitu kemerdekaan tercapai, yang sangat memuja Bung Karno, memilih memanggul senjata lagi, bersama-sama bekas anak buahnya di masa perang kemerdekaan, demi mempertahankan prinsipnya: Negara harus memberi kesejahteraan kepada seluruh rakyatnya, di seluruh penjuru tanah air. Penganut welfare state yang setia.
Pesannya kepada kami anak cucunya adalah, berbuat sesuatu untuk kepentingan orang banyak itu jangan pernah berharap pamrih. Ia, Jalil Binongko, yang berjuang untuk Maluku Utara lewat gerakan bersenjata di era 1940-an akhir hingga 1950, adalah sejawatnya Arnold Mononutu. Tapi, usai itu ia memilih bergerak di dunia politik dan gerakan koperasi. Tak pernah ada jabatan politik yang disandangnya. Dan ia cukup menikmati itu. Tujuan berpolitiknya adalah, memberikan pencerdasan kepada warganya tentang hak-hak politik mereka sebagai warga Negara.
Tapi hari ini, di ibukota negeri ini, saya terpaksa membalik semua logika saya tentang hakekat menjadi warga Negara ini. Hanya orang yang punya mental perampok yang bisa menembus jejaring kekuasaan. Di sini juga saya temukan, seorang idealis hanya hidup di mimpi-mimpi. Kita bisa survive di negeri ini kalau bersikap realis dan menerima kenyataan pahit di hidup kita. Sebagai anak daerah, ternyata, saya tak lebih dari anak jajahan. Maka wajar jika negeri ini dijuluki Republik Wonge, atau Republik Gendruwo.
Di bandara Manado, tak sengaja saya ketemu lagi dengan Saiful. Ko Ipul, begitu saya menyapanya. Dalam diskusi ringan menjelang naik ke pesawat, ia bercerita banyak hal. Mulai dari Pilkada yang sulit diprediksi hasilnya, sampai ke kekuasaan di negeri ini, yang katanya, ada di tangan penguasa yang tak kelihatan. Semacam Genderuwo atau apalah. Belum tuntas diskusi tanpa judul kami, terdengar pemberitahuan bahwa pesawat Wings Air jurusan Manado - Ternate mau berangkat. Penumpang diminta naik ke pesawat. Selesailah sudah diskusi tanpa judul ini.
Manado, Juli 2008
Syaiful menulis puisi-puisinya yang berisi sindiran sinis terhadap perilaku elit politik dan birokrat di Maluku Utara. Tapi, puisi itu universal. Maknanya kemudian saya temukan, ketika di Jakarta. Saya masih agak naïf begitu datang ke ibukota. Berpikir bahwa mereka yang pernah menjadi aktivis, aktivis, para ilmuan, adalah orang yang masih menghargai nurani, dan bekerja dalam bingkai moral dan etika.
Saya terkejut, karena yang saya temukan adalah rimba raya “kejahatan” yang paling banal. Di sini, semua orang bicara, muara semua persoalan adalah uang. Jadi, jangan heran, di negeri ini, orang pelit, tak punya uang dan koneksi kuat, meskipun jujur dan punya kemampuan manajerial, tidak bakalan menjadi pemimpin. Secara tak sadar, feodalisme dimunculkan kembali, dalam bentuk yang berbeda. Dulu ukuran feudal adalah darah biru atau tidak, sekarang, anda bisa menjadi pangeran cukup dengan menunjukkan angka kekayaan yang dimiliki. Ironis memang.
Karib saya di majalah GENTA terbitan Ternate, Sofyan Daud, dalam satu diskusi lepas pada Rabu malam (2/7-08) menyebut, mentalitas inlander dan ambtenaar seperti ini yang mendorong terjadinya penghancuran moralitas pejuang dalam diri tiap orang. Ada benarnya juga, menilik fakta yang terjadi di negeri ini, selama bertahun-tahun.
Sau contoh yang paling telanjang, adalah dana DCU yang diambil dari dana Inpres Khusus nomor 6/2003. Dana yang digelontor sejak Megawati masih berkuasa, sampai SBY hampir menyelesaikan tugas lima tahunan sebagai Presiden RI, jumlahnya cukup lumayan. Rp. 1,7 trilyun. “Itu dana jumlahnya seribu tujuh ratus milyar, dan dalam pertanggung jawaban dijelaskan realisasinya seratus persen,” ujar Sofyan.
Herannya, dana yang peruntukannya untuk penanganan pasca konflik, alokasinya lari entah kemana. Proyek yang puluhan milyar itu, tak pernah kelihatan di lapangan. Dan para pengungsi masih tinggal di barak kumuh di gudang Bimoli. Serta untuk mempertahankan hidup, mereka jualan minuman keras illegal.
Lalu, nilai apa yang harus diperjuangkan di negeri yang modelnya sudah seperti ini? Pertanyaan itu terus mengikuti langkah saya, usai diskusi di kelurahan Toboko-Ternate. Tak sengaja hari ini saya membaca sebuah majalah tempo edisi lama. Ada artikel tentang tari cakalele berbendera RMS di hadapan presiden SBY, di Ambon, tahun lalu. Membaca sepintas saya langsung merenung, kenapa gerakan ‘proklamasi 25 April 1950’ masih terus berkibar? Kenapa Papua masih mengibarkan bintang kejora? Adakah ini semua semata-mata akumulasi dari kekecewaan daerah terhadap pembagian kue yang tidak seimbang. Ataukah ada hal lain yang lebih besar, krisis identitas karena merasa sebagai anak jajahan? Pertanyaan itu terus mengikuti.
Saya teringat akan paman saya, yang pernah menjadi pemimpin pemberontakan Permesta di rimba Halmahera. Ia, seorang pejuang yang menanggalkan baju hijaunya begitu kemerdekaan tercapai, yang sangat memuja Bung Karno, memilih memanggul senjata lagi, bersama-sama bekas anak buahnya di masa perang kemerdekaan, demi mempertahankan prinsipnya: Negara harus memberi kesejahteraan kepada seluruh rakyatnya, di seluruh penjuru tanah air. Penganut welfare state yang setia.
Pesannya kepada kami anak cucunya adalah, berbuat sesuatu untuk kepentingan orang banyak itu jangan pernah berharap pamrih. Ia, Jalil Binongko, yang berjuang untuk Maluku Utara lewat gerakan bersenjata di era 1940-an akhir hingga 1950, adalah sejawatnya Arnold Mononutu. Tapi, usai itu ia memilih bergerak di dunia politik dan gerakan koperasi. Tak pernah ada jabatan politik yang disandangnya. Dan ia cukup menikmati itu. Tujuan berpolitiknya adalah, memberikan pencerdasan kepada warganya tentang hak-hak politik mereka sebagai warga Negara.
Tapi hari ini, di ibukota negeri ini, saya terpaksa membalik semua logika saya tentang hakekat menjadi warga Negara ini. Hanya orang yang punya mental perampok yang bisa menembus jejaring kekuasaan. Di sini juga saya temukan, seorang idealis hanya hidup di mimpi-mimpi. Kita bisa survive di negeri ini kalau bersikap realis dan menerima kenyataan pahit di hidup kita. Sebagai anak daerah, ternyata, saya tak lebih dari anak jajahan. Maka wajar jika negeri ini dijuluki Republik Wonge, atau Republik Gendruwo.
Di bandara Manado, tak sengaja saya ketemu lagi dengan Saiful. Ko Ipul, begitu saya menyapanya. Dalam diskusi ringan menjelang naik ke pesawat, ia bercerita banyak hal. Mulai dari Pilkada yang sulit diprediksi hasilnya, sampai ke kekuasaan di negeri ini, yang katanya, ada di tangan penguasa yang tak kelihatan. Semacam Genderuwo atau apalah. Belum tuntas diskusi tanpa judul kami, terdengar pemberitahuan bahwa pesawat Wings Air jurusan Manado - Ternate mau berangkat. Penumpang diminta naik ke pesawat. Selesailah sudah diskusi tanpa judul ini.
Manado, Juli 2008
Tidak ada komentar:
Posting Komentar