Suatu hari saya membaca Malut Pos. Di situ ditulis, beberapa sineas Jakarta mau membuat film tentang Banau. Artikel itu menyebutkan, Banau yang berjuang dan mati pada tahun 1517, hendak difilmkan oleh salah satu production house yang dimikili putra-putra actor ternama Indonesia di era 1970-an, Almarhum WD. Mohtar. Saya terkejut, tahun 1517? Tak salah? Apa catatan tentang Jailolo dan Banau, pahlawan Halmahera di paru awal abad 20 sedemikian miskinnya, hingga untuk menentukan tahunnya, para sineas ini kesulitan menentukan tahunnya.
Memang, film bukanlah sebuah catatan sejarah. Tapi setidaknya, cerita itu diharapkan tidak bergeser jauh dari kisah yang sebenarnya. Karena dari sana, orang dapat membayangkan, seperti apa cita-cita pemberontakan Banau.
Usai membaca laporan Malut Pos, saya menelepon salah satu redakturnya. Kepada kawan redaktur itu saya sampaikan protes itu. Esoknya, dalam berita lanjutan soal Banau, protes saya ditulis kembali, dan saya “didaulat” Malut Pos sebagai budayawan muda. Ahaa. Mendengar kata budayawan, saya teringat akan kawan baik saya yang bernama Marwan Hamzah.
Ketua Pemuda Demokrat Maluku Utara ini dikenal koleganya sebagai salah satu budayawan local. Seminggu lalu dia mengirim pesan pendek ke telepon seluler saya. Isinya, “Banau pe cucu, telepon balik. Saya so rindu ngoni pe suara.”
Hanya kawan dekat yang biasa bercanda secara berlebihan. Dan dia salah satu kawanku, yang, meski di tengah ketegangan politik, masih sering halo-haloan.
Dia mengabarkan tentang posisi barunya di jajaran Partai Demokrat Maluku Utara. Ia bertanya tentang banyak hal. Di antaranya, bagaimana bacaan saya terhadap kondisi geopolitik local di Ternate, karena dia maju sebagai salah satu kandidat yang akan bertarung dalam pemilu 2009.
Selain dia, di “sekoci” Partai Demokrat ada juga kolega saya, Rahmi Husen, yang akrab disapa Junaidi. Mantan ketua KPU Maluku Utara ini ternyata didorong Partai Demokrat dari Daerah Pemilihan Halmahera Selatan.
Terlepas dari informasi soal para politisi muda di Maluku Utara, saya kembali teringat akan nasib pahlawan dari Jailolo ini. Dia dikenal sebagai pemberontak dari teluk Jailolo. Dari Tuada dan Todowongi, menyebar ke Porniti, dan wilayah Jailolo lainnya.
Tapi Jailolo adalah daerah yang hampir dilupakan dari sejarah lokal. Dari sebuah Negara besar di seluruh daratan Halmahera, ia menciut menjadi sebuah kampung kecil di pesisir barat pulau Halmahera. Sejak Katarabumi meninggalkan jejak kejayaan yang kemudian dibungkam nafsu serakah antar anak negeri sendiri, daerah ini hanya mendapat keistimewaan, menjadi satu distrik di masa akhir kolonial.
Hari ini orang lebih mengenal burung bidadari (semiopthera wallacii, sp) salah satu burung endemic Halmahera yang ditemukan pertama kalinya dalam sejarah ilmu pengetahuan oleh Alfred Wallace, ahli Botani dari Inggris.
Padahal, membayangkan Banau, ibarat membandingkannya dengan Leonidas, pahlawan perang Sparta dalam cerita Yunani Kuno. Bagaimana Banau, dengan karibnya, Puaen, bahu-membahu dengan pasukannya yang jauh lebih kecil dari pasukan Belanda dan armada perang Ternate. Tapi kisah tentang Banau adalah kisah tentang kepahlawanan orang-orang Halmahera.
Di Porniti, satu dusun kecil di distrik Jailolo, mereka menyongsong balatentara yang kuat, bagai Leonidas di Thermopelatea, sebuah cela sempit menuju tanah Yunani. Leonidas, dan kemudian juga Husein bin Ali, cucu Nabi Muhammad SAW di Padang Karbala, adalah martir yang kukuh pada pendirian, hingga titik darah terakhir. Seperti juga Banau di Jailolo.
Cerita tentang Banau dan Jailolo, adalah kisah pilu orang-orang kecil yang menuntut hak mereka, kemerdekaan dari membayar pajak yang berat (blasting), dan hidup sebagai manusia merdeka. Merdeka dalam arti menjadi manusia utuh, bukan budak atau setengah budak.
Tapi hari ini, kita hanya mengenal Banau tak lebih dari nama sebuah battalion tempur TNI AD yang bermarkas di Jailolo, sebuah battalion dengan nomor pengenal Yonif 732. Sebuah ironi yang pahit. Untungnya para petinggi TNI masih berbaik hati menamakan battalion tentara organic Maluku Utara dengan nama “Leonidas” dari Tuada ini.
Padahal di masa lalu, Jailolo (Gilolo), adalah penamaan terhadap pulau Halmahera, karena seluruh daratan pulau itu dikuasai oleh Katarabumi, raja Jailolo yang paling kuat. Dia disingkirkan dalam sebuah persekongkolan halus, dan anak cucunya digusur dari bumi Jailolo, setelah pralaya kedaton Tagalaya.
Jailolo, 20 Juli 2008
Senin, 21 Juli 2008
Banau
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar